Penegakan Hukum di Indonesia, Ibarat ‘Menegakkan Benang Basah’
Oleh: Yohanes Ngamal
WARGA bangsa Indonesia menjalani kehidupan bersama sebagai masyarakat dan negara di bawah norma atau nilai-nilai yang dianggap baik, luhur, dan mulia.
Pada hakekatnya norma berfungsi sebagai acuan dan pedoman perilaku manusia.
Menurut sifatnya, norma atau kaidah perilaku tersebut dapat dibedakan menjadi lima kategori yaitu (i) wajib atau obligatere, (ii) haram atau prohibere” (iii) anjuran untuk melakukan atau sunnah (iv) anjuran untuk jangan melakukan atau makruh, dan (v) kebolehan mubah atau permittere.
Norma terdiri atas beberapa jenis. Salah satu di antaranya adalah norma hukum. Norma hukum dibentuk oleh negara, maka sifatnya wajib dipatuhi oleh setiap warga negara. Norma hukum meliputi tiga kaidah yaitu kewajiban, larangan, dan kebolehan.
Pelanggaran Hukum Masih Marak Terjadi
Dalam praktiknya, warga masyarakat kita sering sekali melakukan pelanggaran norma hukum.
Biasanya, pelanggaran norma hukum terjadi dalam bentuk seperti tindakan main hakim sendiri saat menemukan kasus kejahatan; pelanggaran peraturan lalu lintas; korupsi dan gratifikasi atau penyuapan; kekerasan dalam rumah tangga; pelecehan seksual; aksi merusak fasilitas umum; menftinah atau mencemarkan nama baik seseorang; telat atau tidak membayar pajak; melanggar hak cipta; melakukan pencurian barang; menangkap dan memelihara hewan yang seharusnya dilindungi, melanggar konstitusi; dan menyebarkan ujaran kebencian dan hoax.
Terkait ini, beberapa waktu lalu pihak Polisian Republik Indonesia (Polri) mengungkapkan data bahwa selama periode Januari-April 2023 terdapat 137.419 kasus kejahatan di Indonesia.
Jumlah tersebut melonjak naik 30,7 persen dibandingkan dengan jumlah kumulatif periode yang sama pada tahun sebelumnya, sebanyak 105.133 kasus.
Fakta pelanggaran hukum juga diungkapkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga itu menyebutkan bahwa selama periode Januari hingga Agustus 2023, ada sebanyak 2.355 pelanggaran terhadap perlindungan anak yang diadukan ke KPIA.
Dirincikan bahwa pelanggaran dimana anak sebagai korban perundungan (bullying) ada 87 kasus, anak sebagai korban dari tuntutan kelengkapan fasilitas pendidikan 27 kasus, anak sebagai korban kebijakan sekolah 24 kasus, anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis 236 kasus, dan anak sebagai korban kekerasan atau pelecehan seksual sebanyak 487 kasus.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan bahwa selama periode 1 Januari sampai 6 Oktober 2023, pihaknya telah menangani 85 kasus tindak pidana korupsi.
Apabila ditarik jauh ke belakang, tercatat bahwa sepanjang 18 tahun yaitu dari 2004 hingga 2022, KPK telah menangani 1.351 kasus tindak pidana korupsi .
Ibarat ‘Menegakkan Benang Basah’
Berbagai data di atas memberi sinyal cukup kuat bahwa ada masalah cukup serius dalam ranah penegakan hukum (law enforcement) kita.
Sejatinya, penegakan hukum mengandung pengertian yang kompleks. Dalam arti sempit, penegakan hukum berkaitan dengan kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
Secara luas, penegakan hukum adalah suatu upaya untuk menerapkan hukum dan melakukan tindakan hukum atas setiap bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan, prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative disputes or conflicts resolution).
Menurut situs resmi Komisi Yudisial, tujuan lengkap penegakan hukum ada lima yaitu mengubah pola pikir masyarakat tentang hukum; menyediakan jaminan kepastian hukum; pemberdayaan hukum; pengembangan budaya hukum; dan pemenuhan rasa keadilan.
Dari lima tujuan tersebut, tujuan paling pokok adalah untuk menciptakan suatu kepastian hukum dan pemenuhan rasa keadilan dalam masyarakat.
Budi Rizki Husim (2022) menyebutkan bahwa ada empat lembaga penegakan hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang memerlukan keadilan.
Pertama adalah Kepolisian atau Polisi Republik Indonesia (Polri). Secara normatif, tugas dan fungsi Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan pengayoman, perlindungan,dan pelayanan pada masyarakat.
Namun, dalam kenyataan, sejumlah oknum Polri menyelewengkan tugas-tugas tersebut sehingga tak jarang masyarakat tak mendapatkan keadilan dan pengayoman.
Kedua, adalah kejaksaan. Kejaksaan adalah bagian dari sistem ketatanegaraan Indonesia seperti diatur dalam UUD 1945.
Secara normatif, kejaksaan bertugas sebagai pelaksana penegakan hukum preventif dan pencarian keadilan dalam bidang pidana; memberi bantuan dalam bidang intelijen yudisial, perdata dan tata usaha negara, serta menjaga ketertiban umum untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaan pemerintah, dan penyelamat kekayaan negara.
Namun, dalam praktiknya, ada oknum kejaksaan yang berperilaku menyimpang dengan menerima suap dari pihak tertentu.
Ketiga, adalah Kehakiman. UUD 1945 yang diamandemen, khususnya Pasal 24 Ayat (1) menyatakan bahwa demi menegakkan hukum, lembaga kehakiman memiliki kewewenangan yang bebas dari campur tangan pihak lain.
Namun, tak jarang ada oknum hakim yang tidak memiliki kemandirian dan integritas sehingga membuat keputusan perkara secara tak adil.
Keempat, adalah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Prinsip Lapas adalah mengayomi dan memberikan bekal hidup agar sanggup menjalankan perannya sebagai warga masyarakat.
Pidana bukan balas dendam negara dan penyiksaan terhadap pelanggar huku, melainkan pemberian bimbingan agar bisa berubah menjadi lebih baik.
Namun, prinsip ini seringkali diselewengkan. Tak jarang terdengar kabar bahwa ada oknum Lapas yang menerima suap supaya menyediakan fasilitas ‘mewah’ bagi narapidana tertentu.
Selain itu, masih ada lembaga penegakan hukum lain yang berperan penting dalam berbagai bidang kehidupan. Misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komnas HAM, Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Namun, seperti di empat lembaga sebelumnya, di lembaga-lembaga ini pun ada oknum yang tidak berintegritas, sehingga tidak menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya.
Contoh teranyar adalah kasus di Lembaga MA. Sebagaimana diketahui, Majelis Kehormatan Hakim (MKH) memutuskan untuk memberhentikan empat hakim yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik sepanjang Januari hingga September 2023.
Perilaku menyimpang dari sejumlah oknum di lembaga-lembaga penegakan hukum itu membuat upaya penegakan hukum di Indonesia menjadi sesuatu yang sulit, ibarat ‘menegakkan benang basah’.
Penangan Kasus Korupsi
Tanpa bermaksud mengabaikan yang lain, kasus hukum yang paling banyak disoroti oleh publik di Indonesia adalah tindak pidana korupsi.
Presiden Joko Widodo sendiri menyebut korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang memiliki dampak yang sangat dasyat.
Terkait itu, publik Indonesia menaruh harapan besar kepada KPK.
Memang, KPK telah bekerja keras untuk melakukan penegakan hukum atas berbagai kasus tindak pidana korupsi.
Sejak 2004 hingga 2022, KPK telah menangani 904 kasus gratifikasi, 277 kasus pengadaan barang/jasa, 57 kasus penyalahgunaan anggaran, 50 kasus TPPU, 27 kasus pungutan/pemerasan, 25 kasus perizinan, dan 11 kasus penghalangan proses KPK.
KPK juga telah berhasil menyelamatkan Rp84 triliun dari potensi kerugian negara dari penertiban aset, realisasi PSU, piutang PAD yang berpotensi tidak tertagih, dan sertifikasi asset sebesar Rp76 triliun.
Meski demikian, publik tetap memberikan sorotan tajam kepada KPK karena merasa belum memperlihatkan kinerja terbaik.
Pertama, Publik menganggap KPK (bersama kepolisan, kejaksaan dan kehakiman, dan lembaga kemasayarakatan) kurang serius melakukan penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi.
Buktinya, dari sisi jumlah, dari tahun ke tahun kasus tindak pidana korupsi terus bertambah banyak. Data ICW menyebutkan, pada 2022 saja, terdapat 2.056 putusan perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan 2.249 orang terdakwa.
Kedua, dari aspek dampaknya, tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerugian finansial, material dan non-material paling besar bagi negara sekaligus rakyat seluruhnya. Menurut ICW, total kerugian negara tahun 2022 saja mencapai Rp48,81 triliun.
Ketiga, dari sisi proses penanganannya, terkesan ada kasus yang sengaja di’peti-es’kan. Pada sejumlah kasus lain, aksi penangangannya berlangsung dramatis dan berbau amis politis.
Keempat, dari sisi sanksi hukum, tak sedikit pelaku tindak pidana korupsi yang mendapat sanksi hukum tetap sangat ringan, jauh di bawah tuntutan jaksa. Hukuman pidana penjara yang dijatuhkan di seluruh tingkat pengadilan rata-rata 40 bulan, atau kurang dari tiga tahun.
Bahkan, dalam sejumlah kasus, terpidana kasus korupsi berada di Lapas dengan fasilitas mewah, diduga disediakan oleh oknum penegak hukum sendiri.
Berharap Pada Inisiatif BPHN
Persoalan penegakan hukum yang masih melempem ternyata tidak menjadi keprihatinan publik semata, melainkan juga oleh pihak penyelenggara negara.
Pemerintah tampaknya sangat serius mengembangkan sinergitas antarlembaga penegakkan hukum tindak pidana korupsi demi terwujudnya ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,’ sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945.
Terbukti, Kementerian Hukum dan HAM RI melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) terus menyelenggarakan Penyuluhan Hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di seluruh Kantor Wilayah dan Pemberi Bantuan Hukum (PBH) di Indonesia.
Selain itu BPHN juga menggelar Konferensi Hukum Nasional (KHN) yang menghadirkan sejumlah pimpinan tinggi lembaga negara..
BPHN berharap, melalui KHN 2023 lahir sejumlah rekomendasi demi penegakan hukum tindak pidana korupsi secara lebih optimal di masa datang.
Tentu saja, kita pun berharap bahwa inisiatif BPHN tersebut mampu menghasilkan kesatuan gerak langkah di antara institusi penegakan hukum mulai dari jajaran paling atas hingga jarajran paling bawah.
Mudah-mudahan upaya tersebut merangsang semangat koordinasi, kolaborasi dan sinergitas di antara lembaga penegakan hukum sehingga upaya pencegahan dan penindakan atas berbagai bentuk pelanggaran hukum, terutama tindak pidana korupsi, dapat berjalan lebih optimal pada masa datang. ***