Indonesia mengalami deflasi berlangsung selama 5 bulan berturut-turut sejak Mei 2024.
Deflasi, adalah suatu periode di mana harga-harga secara umum mengalami penurunan dan nilai uang bertambah.
Deflasi, jika merefleksikan daya beli masyarakat yang tengah lesu, berisiko menurunkan produktivitas dunia usaha hingga menggerus potensi pertumbuhan ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa deflasi disebabkan pasokan barang pangan yang berlimpah. Serta daya beli masyarakat yang tengah merosot, termasuk turunnya jumlah kelas menengah beberapa hari terakhir.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan deflasi bulanan telah berlangsung 5 bulan beruntun.
Berturut-turut, deflasi per Mei sebesar 0,03 persen, deflasi per Juni sebesar 0,08 persen, deflasi per Juli sebesar 0,18 persen, deflasi per Agustus sebesar 0,03, dan deflasi per September 2024 sebesar 0,12 persen.
Kelompok makanan, minuman, dan tembakau kembali menjadi kelompok utama penyumbang deflasi.
Dalam 5 bulan terakhir, komoditas daging ayam ras masuk dalam lima besar komoditas utama yang menyumbang deflasi.
Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyatakan bahwa deflasi yang telah terjadi 5 bulan berturut-turut ini menunjukkan daya beli masyarakat masih lesu.
Sebab, ada kelebihan komoditas yang tidak diikuti permintaan sehingga harga turun. Akhirnya, pasokan berlebih menyebabkan harga pun turun atau deflasi.
Pelemahan daya beli disebabkan berbagai permasalahan struktural yang dialami dunia usaha, seperti deindustrialisasi dini dan sempitnya lapangan kerja.
Selain itu, juga masih belum efisiennya produksi akibat tingginya biaya energi hingga biaya logistik.
Lembaga Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), menyatakan bahwa fenomena deflasi ini menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat.
Sebab, ada kelebihan komoditas yang tidak diikuti permintaan sehingga harga turun.
Pelemahan daya beli ini bisa berdampak panjang pada pertumbuhan ekonomi.
Sebab, konsumsi masyarakat punya peran besar sebagai komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB).
Data BPS pada triwulan II-2024, menunjukkan bahwa kontribusi konsumsi pada PDB mencapai 54,53 persen.
Porsi ini merupakan yang terbesar dibandingkan komponen lainnya, yakni investasi, ekspor barang dan jasa, belanja pemerintah, dan belanja Lembaga Nonprofit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT).
Pelemahan daya beli ini akan membuat pertumbuhan ekonomi sulit untuk tembus 5 persen pada 2024.
Melemahnya daya beli masyarakat dipicu permasalahan struktur ekonomi. Kebijakan fiskal dan moneter hanya berperan sebagai pemberi insentif dan stimulus jangka pendek.
Pemerintah harusnya harus segera melakukan pembenahan isu struktural, seperti membuka lapangan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan, kondisi deflasi yang sudah berjalan 5 bulan berturut-turut ini menunjukkan pemerintah abai dengan kondisi perekonomian saat ini.
Deflasi yang telah berlangsung lama ini harusnya jadi alarm bagi pemerintah bahwa ada sesuatu yang keliru di perekonomian Indonesia sehingga harus ditangani dengan tepat agar bisa kembali bangkit.
Sayangnya dalam 5 bulan terakhir tidak terlihat adanya upaya serius dari
Salah satu pemicu daya beli yang melemah adalah industri manufaktur yang justru dilemahkan sendiri oleh aturan yang dibuat pemerintah.
Semisal keluarnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pengaturan Impor.
Melalui kebijakan itu impor barang jadi dipermudah sehingga banjir barang impor.
Akhirnya, industri manufaktur dalam negeri jadi kesulitan berjualan. Menurunnya produksi sama artinya mengurangi tenaga kerja. Bertambahnya pengangguran tentu akan memperlambat laju perekonomian.
Padahal harusnya industri manufaktur perlu didorong, didukung, dan dilindungi pasarnya agar jadi pemain utama di negeri sendiri.
Sebab, manufaktur adalah kontributor perekonomian terbesar dan mampu menyerap tenaga kerja yang luas bagi masyarakat.
Sampai kapan turbulensi ekonomi ini berlangsung?
Tentunya sangat bergantung dari kebijakan kabinet baru yang akan dimulai pada bulan ini.
Kepada teman teman penggiat usaha harus mau banyak mencari jalan keluar sendiri sendiri bila mana pemerintah belum memberikan solusi yang significant.
Serta sebagaimana dalam semua krisis lebih baik berpegang kepada kaidah “Cash is King. And Cash Flow is King Kong”.
Hindari dulu pengeluaran yang tidak diperlukan, kemewahan yang tidak diperlukan, serta terus menjaga arus kas pada semua kegiatan usaha.
Sambil menunggu adanya jalan keluar yang diberikan oleh pemerintah.
(Data diambil dari berbagai sumber)
Allahu a’lam. Barakallah fiikum.
@dewopakde –
Komunitas Pengusaha Muslim