Ini Ceritaku, Mana Ceritamu ?
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Saya tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakat yang kultur keagamaannya mungkin seperti kebanyakan orang, yakni nahdhiyin. Lengkap dengan segala atribut adat-istiadat yang melekat begitu kuat.
Sejak kecil saya belajar ngaji kepada kiyai dan guru kampung yang terkenal kental amal ke-NU-annya.
Kitab ngaji ala santri seperti ‘aqidatul awam (aqidah), Tuhfatul athfal (Tajwid), Safinatun najah (fiqih) dan jurumiyah (nahwu) bukan hanya sekedar pernah belajar bahkan telah kami hafal sedari sekolah dasar.
Menginjak usia remaja konsumsi bacaan keislaman saya bertambah, selain melanjutkan melahap kitab-kitab klasik standar santri pesantren, dari yang paling tipis seperti fath al Qarib sampai yang berjilid semisal majmu’ sarah al Muhadzdzab yang terdiri dari 27 jilid tebal, saya mulai gemar melahap buku-buku keagamaan yang bercorak modern perkotaan seperti Muhammadiyah dan PERSIS.
Di fase ini, sikap kritis saya ala anak muda yang sedang mencari jati diri, terlampiaskan habis-habisan. Diskusi dan perdebatan panas menjadi aktivitas dan makanan sehari-hari.
Menginjak usia SMA, saya mulai keluar kandang. Dan bila dahulunya perbedaan pendapat dalam agama hanya saya tahu dari buku, sekarang saya langsung bertemu dengan tokoh dan institusi yang mewakili pandangan beda tersebut.
Dan ketika muncul gelombang dakwah dan hiruk pikuk harakah tarbiyah, saya termasuk yang terpengaruh oleh gerakan tersebut. Semangat untuk menjadi bagian dari ruh baru di tubuh umat begitu kuat menggelak.
Saya sempat aktif di kajian dakwah Salafiyah dari Saudi dan juga yang versi Yamani, Ikhwanul Muslimin dari Mesir, Hizbut Tahrir dari Yordania, Jamaah Tabligh dari India, dan Darul Arqam dari Malaysia.
Buku pergerakan yang ditulis oleh ulama kawakan seperti sayid Quthb, Syaikh Yusuf al Qaradhawi, Muhammad ‘Abduh, sampai buku kumpulan orasi syaikh mujahid ‘Abdullah Azzam saya koleksi.
Bahkan bukan hanya yang trans nasional termasuk yang hanya kelas lokal seperti Hidayatullah, Lembaga persis, al Irsyad dan lainnya semua sedikit banyak turut memperkaya khazanah pemahaman keislaman yang saya miliki.
Namun, ilmu yang saya dapatkan tidak selalu berbuah manis. Jujur harus diceritakan, saya pernah mengalami fase gemar mengotori hati dan lidah dengan sumpah serapah dan caci-maki kepada saudara sendiri. Terhadap Salafi, Tabligh, Tarbiyah, Muhammadiyah dan lainnya.
Bahkan saya cela habis-habisan NU yang notabene adalah ‘pengasuh’ saya semasa kecil. Saya bungkam dan saya paksa diam para tetua dengan sikap dekil yang saya klaim dalil, padahal dahulu mereka yang telah mengajari kami berbicara. Untungnya, saya tidak sampai kualat jadi batu…
Kemudian Allah berkehendak memberi nikmat kepada saya untuk mengunjungi negeri asal beberapa gerakan keislaman, seperti Mesir, Saudi dan Yaman. Dan Hanya ke Pakistan yang gagal waktu itu. Semoga bisa di qadha di waktu dekat ini, insyaallah.
Meskipun sebentar, saya bisa bertemu dengan beberapa tokoh Ikhwan di Mesir, di sana juga saya mengenal beberapa ulama sufi dan tokoh salafi Kairo.
Meskipun sebentar, saya bertemu dengan ulama-ulama pencanang dakwah Salafiyah yang hanif di Saudi, bahkan saya juga bertemu dengan gurunya kiyai-kiyai NU di Makkah al Mukarramah.
Dan meskipun hanya setetes, saya sempat meneguk air dari lautan ilmu ulama-ulama Syafi’iyah di Yaman.
Sekarang, setelah masa-masa itu berlalu, saya masih berstatus sebagai pelajar yang terus belajar dan belajar. Belajar dengan cara menjadi pendengar yang baik lalu mengatakan yang baik.
Belajar untuk bisa bersikap adil kepada setiap muslim apapun organisasi dakwah dan afiliasi kelimuan mereka.
Sekarang, saya hanya ingin dikenal dengan identitas yang jelas sebagai seorang muslim, menjadi saudara dari semua saudara seiman. Tanpa embel –embel status bendera dakwah dan harakah yang membedakan saya dari yang lain.
Saya mencintai dakwah NU yang lurus, saya mencintai dakwah Salafi yang lurus saya mencintai dakwah Ikhwan yang lurus dan saya juga mencintai semua saudara seiman yang bahkan tidak mengenal apa itu NU, Salafi, Ikhwan dan lainnya.
Saya tahu tidak semua antum setuju, apa lagi mau ikut menempuh jalan yang telah saya pilih, yang dicap “abu-abu” atau “gado-gado” oleh sebagian pihak, tapi bukankah kita bisa tetap bersaudara meski berbeda pendapat ?
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةࣱ فَأَصۡلِحُوا۟ بَیۡنَ أَخَوَیۡكُمۡ
“Sesungguhnya semua orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah antara saudaramu itu….” (QS. Al Hujurat : 10)