Setiap Cobaan Datang Sebuah Proses Pendewasaan Diri |

Beberapa Usulan Untuk Penyusunanan Revisi UU Kepailitan

Meskipun RUU guna merevisi Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”) tidak dijadikan salah satu RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2021,  usulan atau pembahasan kritis mengenai RUU revisi UU Kepailitan ini tetap relevan untuk terus dilakukan.

Orang bijak malah mengatakan bahwa dengan tidak masuknya  RUU revisi UU Kepailitan dalam Prolegnas, hal itu malah merupakan “blessing in disguise” karena memberikan waktu yang lebih banyak untuk memikirkan revisi yang lebih tepat guna dan menghasilkan UU Kepailitan baru yang lebih fair bagi semua pihak.

Berdasarkan pengalaman nyata yang terjadi dalam praktek, persyaratan mengajukan permohonan kepailitan atau PKPU yang hanya mensyaratkan pembuktian secara sederhana mengenai adanya minimal dua kreditur dengan satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tapi tidak dibayar, telah disalah gunakan oleh beberapa pihak untuk mempailitkan perusahaan yang secara financial sangat sehat.

Dalam kasus kepailitan Telkomsel misalnya, yang terjadi adalah sengketa kontraktual mengenai apakah benar Telkomsel telah melakukan wanprestasi. Namun demikian, perkara yang pembuktian adanya utang  sebetulnya tidak dapat dibuktikan secara sederhana, bisa diubah menjadi perkara kepailitan dan oleh majelis hakim di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat diputuskan bahwa Telkomsel pailit dengan segala akibat hukumnya karena “tidak mau” membayar “utangnya”, dan bukannya “tidak mampu” membayar utangnya.

Padahal, total asset Telkomsel yang nilainya trilyunan rupiah jelas mampu untuk membayar seluruh utangnya, sekiranya Telkomsel setuju bahwa tagihan yang diajukan oleh pemohon dalam perkara itu benar-benar merupakan “utang” yang harus dibayar.  Sebelum perkara Telkomsel, sudah ada beberapa perkara lain seperti dipailitkannya PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia dengan argumentasi hukum yang sama.

Selain berhasilnya perusahaan-perusahaan yang sehat secara financial dipailitkan, dalam praktek ancaman akan dinyatakan berada dalam PKPU juga menghantui perusahaan-perusahaan yang “tidak mau” membayar tagihan atau invoice yang menurut mereka tidak benar atau layak menjadi sengketa hukum.  Berdasarkan pengalaman perusahaan lain yang dinyatakan berada dalam PKPU sementara dan akhirnya berdamai dengan para krediturnya, ternyata ada kerugian sangat besar jika perusahaan sampai dinyatakan dalam PKPU.

Pertama, kerugian yang berkaitan dengan reputasi atau nama baik perusahaan dan para pemegang sahamnya. Kedua, kerugian financial guna membayar fee pengurus, yang jumlahnya ternyata sangat besar dan bahkan kadang-kadang jauh lebih besar dari “utang” yang ditagihkan oleh kreditur pemohon PKPU.  Berdasarkan Peraturan Menkumham No.2/2017, jika PKPU berakhir dengan perdamaian, maka fee pengurus ditetapkan paling banyak 5,5% dari total utang debitur yang harus dibayar kepada para krediturnya.  Jika  perusahaan yang dimintakan PKPU itu adalah perusahaan besar, otomatis fee pengurus akan sangat besar dan bisa mencapai puluhan milyar rupiah. Padahal, tagihan kreditur pemohon PKPU mungkin hanya beberapa ratus juta rupiah saja.  Oleh karena itu, dalam praktek beberapa perusahaan yang sebetulnya menganggap tagihan pemohon PKPU adalah “tagihan bermasalah”,  akhirnya menyerah dan membayar tagihan tersebut karena takut dinyatakan berada dalam PKPU jika permohonan PKPU kreditur itu diterima oleh pengadilan niaga.

Kejadian dimana banyak perusahaan terpaksa membayar tagihan yang sebetulnya disengketakan, dapat terjadi karena persyaratan untuk suatu perusahaan dinyatakan pailit atau berada dalam PKPU hanyalah adanya minimal dua kreditur, dengan satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.  Ada akademisi yang mengusulkan agar digunakan insolvency test guna menentukan kepailitan suatu perusahaan.

Artinya, suatu perusahaan hanya dapat dipailitkan jika modalnya tergerus sampai lebih kecil dari 50% agar dapat dimohonkan pailit.

Namun demikian, usulan ini ditolak oleh beberapa praktisi hukum dengan argumentasi bahwa sangat sulit bagi pemohonun tuk dapat membuktikan soal tergerusnya modal suatu perusahaan sampai di bawah 50%, apalagi jika perusahaan tersebut bukan perusahaan publik yang tidak memiliki kewajiban untuk mengumumkan laporan keuangannya setiap tahun.

Untuk mengakomodasi dua pendapat itu, saya mengusulkan dianutnya semacam insolvency test secara terbalik, yaitu perusahaan yang diajukan permohonan PKPU atau kepailitan dapat membela diri dengan membuktikan bahwa asetnya jauh lebih banyak dari seluruh utangnya, sehingga dirinya tidak patut untuk ditaruh di bawah PKPU apalagi dinyatakan pailit. Dengan diberikannya tangkisan hukum (legal defence) semacam ini, maka perusahaan-perusahaan dapat menolak untuk membayar tagihan yang mereka anggap tidak patut atau sedang disengketakan, dengan membuktikan bahwa dirinya sangat sehat secara finansial.  Selain itu, guna mencegah adanya pemohon kepailitan yang beriktikad buruk, Pasal 17 ayat (3) UU Kepailitan sebaiknya direvisi untuk secara lebih tegas menyatakan bahwa jika putusan pernyataan pailit dalam tahap kasasi dibatalkan oleh Mahkamah Agung, maka biaya atau fee curator harus  dibebankan kepada pihak pemohon.  Pengaturan Pasal 17 ayat (3) dalam UU Kepailitan yang saat ini berlaku menjadi penyebab berlarut-larutnya pembayaran fee curator dalam kasus Telkomsel, karena ada kata “atau” dalam ketentuanini.[1] Jadi, sebaiknya diatur tegas saja bahwa jika kepailitan debitur dibatalkan oleh Mahkamah Agung, maka fee curator harus dibayar oleh pihak pemohon kepailitan.

Dalam praktek, pernah terjadi juga kreditur yang sengaja tidak mendaftarkan tagihan kepada pengurus perusahaan yang berada dalam PKPU sementara, kemudian mengajukan PKPU kedua setelah perusahaan tersebut menanda-tangani perjanjian perdamaian dengan para krediturnya dan juga telah dihomologasi oleh pengadilan niaga.  Meskipun Pasal 286 UU Kepailitan jelas mengatur bahwa perdamaian yang telah disahkan mengikat semua kreditur, kecuali kreditur yang tidak menyetujui rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam pasal 281 ayat (2), dalam praktek panitera pengadilan niaga tetap menerima pendaftaran permohonan PKPU kedua oleh kreditur konkuren yang sengaja tidak mendaftarkan tagihannya dalam proses PKPU yang pertama. Meskipun secara yuridis sebetulnya posisi perusahaan yang telah berdamai dengan para krediturnya sangat kuat berdasarkan ketentuan Pasal 286 UU Kepailitan, dalam praktek perusahaan ini terpaksa memenuhi tuntutan kreditur yang mengajukan PKPU kedua, karena “trauma” jika sampai permohonan PKPU kedua ini dikabulkan, maka dirinya harus membayar lagi fee pengurus yang jumlahnya sangat besar sebagaimana yang terjadi dalam PKPU pertama.

[1] Pasal 17 ayat(3) UU Kepailitan berbunyi: Biaya sebagai mana dimaksud pada ayat(2) dibebankan kepada pemohon pernyataanpailit atau kepada pemohon dan debitur dalam  perbandingan 
yang ditetapkan oleh majelis hakim tersebut.

Berdasarkan pengalaman praktek ini, maka sangat disarankan agar dalam RUU revisi UU Kepailitan, diatur dengan tegas bahwa panitera pengadilan niaga berhak untuk menolak pendaftaran PKPU dari perusahaan yang sudah berdamai dengan para krediturnya lewat proses PKPU, dan perdamaian itu sudah dihomologasi oleh pengadilan niaga. Permohonan yang dapat diterima hanyalah permohonan kepailitan jika debitur melanggar ketentuan perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi tersebut.

Selain soal persyaratan diajukannya permohonan PKPU atau kepailitan yang perlu dipikirkan lagi secara lebih cermat, ada beberapa hal yang juga perlu dibahas dengan seksama guna menghasilkan UU Kepailtan baru yang lebih fair dan melindungi perusahaan-perusahaan yang sehat secara finansial dan beriktikad baik dalam menjalankan usahanya. Masalah lain tersebut antara lain permohonan kepailitan terhadap perusahaan BUMN atau perusahaan keuangan yang strategis seperti bank, asuransi, dan multi finance; hak kreditur separatis untuk mengeksekusi sendiri jaminan yang dimiliki dan penyelesaiannya jika terjadi konflik dengan kepentingan buruh; serta masalah kepailitan lintas batas negara (cross border insolvency).

Tentu saja ada beberapa masalah lagi yang perlu dibahas dan dimasukkan dalam RUU revisiatas UU Kepailitan, yang perlu dibahas dalam kesempatan lain.

Penulis Oleh :

Stefanus Haryanto  adalah Managing Partner dari Adnan Kelana Haryanto & Hermanto (AKHH Lawyers) di Jakarta dan kontributor FAKTAREVIEW.

 

Share Article:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like:


Notice: Undefined property: stdClass::$data in /home/fakt6635/public_html/wp-content/plugins/royal-elementor-addons/modules/instagram-feed/widgets/wpr-instagram-feed.php on line 4894

Warning: Invalid argument supplied for foreach() in /home/fakt6635/public_html/wp-content/plugins/royal-elementor-addons/modules/instagram-feed/widgets/wpr-instagram-feed.php on line 5567

Berita Terbaru

  • All Post
  • Autotekno
  • Beauty
  • Berita
  • Dunia
  • Ekonomi & Bisnis
  • Foto
  • Gaya Hidup
  • ILD
  • Konsultasi
  • Lifestyle
  • Nasional
  • Olahraga
  • Opini
  • Photography
  • Redaksi
  • Sosok
  • Travel
  • Uncatagories
  • Warna
    •   Back
    • Politik
    • Hukum
    • Daerah
    • Pendidikan
    • Wawancara
    •   Back
    • Peluang Usaha
    • Entrepreneur
    •   Back
    • Fashion
    • Kesehatan
    • Travelling & Kuliner
    •   Back
    • Motivasi
    • Inspirasi
    • Training & Seminar
    • Info Warga
    • Komunitas
Resep Kue Koci-Koci

Resep Kue Koci-Koci Oleh : Resep Alami dan Sehat/Lils Kitchen Bahan Isian : – 50…

FAKTAREVIEW

Mengulas Fakta Dibalik Berita

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template

faktareview

Mengulas Fakta Dibalik Berita

Semoga konten-konten faktareview.com yag hadirkan bisa dinikmati, bisa memenuhi kebutuhan informasi serta bisa ikut membangun kesadaran masyarakat  menuju masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.

Terimakasih Telah Berkunjung