Pernah berada di titik terendah, ketika lelah tak lagi mengalah, dan rasanya ingin menyerah.
“Pergilah … Mama tak mau kalian lagi! Pergilah … pulang ke tempat papamu!” lelahku menjadi murka pada secuil salah.
Keduanya bergeming di depanku. Si kakak terisak pelan, sementara si adik lebih ekspresif–berulang kali mengucapkan permintaan maaf dan berharap tidak diusir. Penyesalan tampak pada sorot mata mereka, menyadari aku bahkan tak lagi punya waktu untuk diriku sendiri, bahkan untuk istirahat pun kadang tak lagi menjadi sebuah hak.
Berjuang seorang diri membesarkan keduanya bukanlah perkara mudah. Dan nyatanya sejak mereka kecil, aku sudah cukup mumpuni menjadi orang tua tunggal–mengajarkan, merawat, hingga membimbing mereka seorang diri.
“Mama udah capek, mama udah ngga kuat, mama ngga tau sampai kapan bisa bertahan membesarkan kalian …” lanjutku dengan air mata.
“Ngga apa-apa, Ma … nanti aku bantu. Nanti aku bantu Mama.” Kakak berjanji diikuti anggukan adik.
Mungkin, aku bukanlah ibu yang baik. Belum pandai bersyukur dengan titipan Tuhan. Diberikan anak-anak sehat, tak pernah melawan dan tak pernah menyakiti hati masih kerap mengeluh. Kendati dimarahi seperti apapun atau diomeli setiap hari, mereka tetap memaafkanku, mereka tetap menerimaku apa adanya.
Setelah menjadi mualaf, banyak hal yang kupelajari. Belajar mengucap istighfar setiap tidak baik-baik saja. Belajar menerima keadaan dan menyerahkan segala urusanku pada Allah.
Terkadang bukan bahagia yang membuat kita bersyukur, tapi dengan bersyukurlah yang membuat kita bahagia …
Yen Pen Pau