Pertanyaan:
Temen saya mau utang dengan gadai motornya, jika saya menerima motor gadai, bolehkah saya memanfaatkannya? Suwun
Dijawab:
Oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Transaksi gadai, digolongkan para ulama sebagai akad tautsiqat, yaitu akad yang tujuannya memberikan jaminan kepercayaan bagi pelaku akad. Mengingat tujuannya untuk jaminan kepercayaan, akad ini sifatnya tambahan (‘aqd ziyadah). Bisa ditambahkan di akad apapun. Karena itu, akad ini tidak memberikan konsekuensi terhadap perpindahan kepemilikan barang gadai.
Konsekuensi dari hal ini,
[1] barang gadai statusnya amanah bagi murtahin (yang memberi utang).
[2] barang gadai tetap menjadi milik rahin (yang berutang).
[3] jika terjadi kegagalan, misalnya utang bermasalah atau transaksi yang dijamin bermasalah, barang gadai tidak otomatis pindah kepemilikan.
[4] semua biaya perawatan barang gadai, ditanggung oleh rahin (yang berutang), karena ini memang miliknya.
Tidak Boleh Memanfaatkan Barang Gadai
Kita menggaris bawahi, bahwa dalam transaksi gadai, tujuan utamanya hanya untuk jaminan kepercayaan dan keamanan, dan bukan untuk memberi keuntungan bagi pihak yang menerima gadai (yang memberi utang).
Yang terjadi, ketika penerima gadai memanfaatkan barang gadai, berarti dia memanfaatkan barang milik orang yang utang, disebabkan transaksi utang antar mereka. Bisa kita pastikan, andaikan tidak ada transaksi utang piutang, orang yang menerima gadai tidak akan memanfaatkan barang milik yang berutang.
Karena itu, pemanfaatan barang gadai oleh pemberi utang, berarti dia mendapatkan manfaat dari utang yang dia berikan. Sementara mengambil manfaat (keuntungan) dari utang yang diberikan, termasuk riba. Seperti yang dinyatakan dalam kaidah,
كُلُّ قَـرضٍ جَرَّ مَنفَـعَـةً فَهُوَ رِباً
“Setiap utang yang memberikan keuntungan, maka (keuntungan) itu adalah riba.” (HR. Baihaqi)
Tak terkecuali, keuntungan dalam bentuk memanfaatkan barang gadai karena transaksi utang piutang.
Kita simak keterangan Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunah,
عقد الرهن عقد يقصد به الاستيثاق وضمان الدين وليس المقصود منه الاستثمار والربح، وما دام ذلك كذلك فإنه لا يحل للمرتهن أن ينتفع بالعين المرهونة، ولو أذن له الراهن، لانه قرض جر نفعا، وكل قرض جر نفعا فهو ربا
Akad rahn adalah akad yang tujuannya untuk menjamin kepercayaan dan jaminan utang. dan bukan untuk dikembangkan atau diambil keuntungan. Jika seperti itu aturannya, maka tidak halal bagi murtahin untuk memanfaatkan barang yang digadaikan, meskipun diizinkan oleh rahin. Karena berarti utang yang memberikan adanya keuntungan. Dan semua utang yang memberikan keuntungan, statusnya riba. (Fiqh Sunah, 3/156).
Rincian Pemanfaatan Gadai untuk Selain Utang
Mengingat akad gadai bisa ditambahkan dalam banyak transaksi, seperti utang, jual beli dan yang lainnya, tidak semua pemanfaatan gadai dilarang. Ibnu Qudamah memberikan rincian sebagai berikut,
[1] Jika gadai ini diberikan untuk jaminan kepercayaan transaksi utang-piutang, pemberi utang sama sekali tidak boleh memanfaatkan barang gadai, meskipun telah diizinkan rahin. Karena ini termasuk riba, karena “setiap utang yang memberikan keuntungan, maka itu adalah riba.” bahkan kata Imam Ahmad, itu riba murni. Ibnu Qudamah mengatakan,
قال أحمد : أكره قرض الدور وهو الربا المحض يعني إذا كانت الدار رهنا في قرض ينتفع بها المرتهن
Imam Ahmad mengatakan, “Saya membenci menggadaikan rumah, dan itu riba murni.” Maksud beliau, jika rumah dijadikan barang gadai untuk utang, dan dimanfaatkan oleh murtahin (pemberi utang).
[2] Jika gadai untuk selain utang, seperti jaminan untuk transaksi jual beli yang belum tuntas atau jaminan dalam akad sewa-menyewa, maka pemberi utang boleh memanfaatkan barang gadai jika pemilik barang mengizinkan. Ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin – keduanya ulama tabi’in –. (al-Mughni, 4/467).
Jika Gadai Membutuhkan Perawatan
Ulama sepakat bahwa biaya perawatan barang gadai menjadi tanggung jawab rahin (yang berutang). At-Thahawi mengatakan,
وأجمع أهل العلم أن نفقة الرهن على الراهن لا على المرتهن
“Ulama sepakat bahwa biaya perawatan barang gadai menjadi tanggung jawab rahin dan bukan murtahin.” (Syarh Ma’ani al-Atsar, 4/99)
Selanjutnya, jika rahin tidak menanggung biaya perawatan, bolehkah murtahin memanfaatkan barang gadai sebagai ganti dari biaya perawatan?
Menurut madzhab hambali, jika gadai yang ada di tangan murtahin membutuhkan biaya perawatan, seperti binatang, maka murtahin berhak untuk mengambil manfaat dari binatang itu, dengan diperah susunya atau dijadikan tunggangan, sebagai kompensasi atas biaya yang dia keluarkan.
Dalam Fiqh Sunah dinyatakan,
فإن كان دابة أو بهيمة فله أن ينتفع بها نظير النفقة عليها فإن قام بالنفقة عليها كان له حق الانتفاع، فيركب ما أعد للركوب كالابل والخيل والبغال ونحوها ويحمل عليها، ويأخذ لبن البهيمة كالبقر والغنم ونحوها
Jika barang gadai berupa hewan tunggangan atau binatang ternak, maka murtahin boleh memanfaatkannya sebagai ganti dari biaya yang dia keluarkan untuk itu. Orang yang menanggung biaya, dia berhak untuk memanfaatkan barang itu. Dia boleh menaikinya jika itu hewan tunggangan seperti kuda, onta, atau bighal. Dan boleh dipakai untuk ngangkut barang. Dia juga boleh mengambil susunya jika hewannya bisa diperah, seperti kambing atau sapi. (Fiqh Sunah, 3/157)
Ini berbeda dengan pendapat mayoritas ula ma yang melarang sama sekali pemanfaatan barang gadai oleh murtahin.
Namun pendapat hambali dalam hal ini lebih kuat, mengingat hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَبَنُ الدَّرِّ يُحْلَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَالظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَحْلِبُ النَّفَقَةُ
“Susu hewan perah bisa diperah sebagai ganti biaya perawatan ketika dia digadaikan. Punggung hewan tunggangan boleh dinaiki sebagai ganti biaya perawatan ketika dia digadaikan. Kewajiban bagi yang menunggangi dan yang memerah susunya untuk merawatnya.” (HR. Abu Daud 3528 dan dishahihkan al-Albani)
Namun tentu saja ini tidak berlaku untuk motor. Karena motor tidak perlu biaya perawatan. Kalaupun harus dipanasi, itu hanya sebentar dan jika murtahin tidak rela, bisa diganti biaya perawatan itu dengan memakai motor tersebut untuk keperluan sebentar.
Demikian, Allahu a’lam.
(Ustadz Ammi Nur Baits)