Mengikuti kasus hilangnya uang 22 Milyar milik Windad, atlet esport yang disimpan di bank Maybank cukup menarik, karena Maybank kini dibela oleh Hotman Paris Hutapea yang mengklaim dirinya sebagai top international lawyer. Orang luar tentu saja tidak mengetahui fakta yang sesungguhnya terjadi, karena itu tulisan ini hanya sebatas Analisa berdasarkan data yang disiarkan oleh media massa atau berdasarkan asumsi tertentu.
Maybank lewat Hotman Paris mengajukan argumentasi bahwa sebelum ada jawaban yang jelas mengenai apakah tindakan kepala cabang Maybank mengeluarkan dana milik Winda di rekeningnya untuk diinvestasikan di luar atas ijin dan sepengetahuan Winda atau tidak. Jika Tindakan kepala cabang itu atas ijin dan sepengetahuan Winda, maka tentu saja Maybank tidak dapat dimintakan tanggungjawab atas raibnya uang Winda tersebut. Maybank juga mengatakan adanya kejanggalan berupa adanya aliran dana dari kepala cabang yang sudah jadi tersangka itu kepada ayah Winda. Kejanggalan lain adalah buku tabungan dan kartu ATM milik Winda ternyata dipegang oleh kepala cabang, meskipun Winda sudah menanda tangani bukti penerimaan buku tabungan dan kartu ATM.
Kejanggalan-kejanggalan yang disebut oleh Maybank lewat kuasa hukumnya tentu saja harus diverifikasi kebenarannya. Namun demikian, Winda sudah membantah bahwa dirinya memberikan persetujuan kepada kepala cabang untuk menarik dana miliknya untuk keperluan apapun. Selain itu Winda juga sudah menjawab bahwa rekening tabungan yang dia buka bukan rekening dengan buku tabungan dan kartu ATM, melainkan rekening yang laporannya diberikan secara berkala lewat rekening koran. Kalau bantahan Winda ini benar, maka pertanyaan apakah kepala cabang mengeluarkan dana milik Winda atas sepengetahuan atau ijin Winda sudah terjawab.
Asas Hukum Caveat Venditor Vicarious Liability
Jika tindakan kepala cabang Maybank mengeluarkan dan memakai dana milik Winda dilakukan tanpa sepengetahuan atau ijin dari Winda, maka jelas bahwa Maybank harus bertanggungjawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh karyawannya. Hal ini sesuai dengan doktrin vicarious liability yang diatur dalam Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Terhadap kejanggalan yang dikemukakan oleh Maybank bahwa buku tabungan dan kartu ATM Winda dipegang terus oleh kepala cabang, Winda sudah menjelaskan bahwa dia baru membuat kartu ATM Ketika diberitahu bahwa dia harus memiliki kartu ATM untuk dapat menarik uangnya.
Kalaupun diasumsikan bahwa ada kelalaian Winda membiarkan buku tabungan dan kartu ATM miliknya dipegang oleh kepala cabang, maka kelalaian Winda ini tidak dapat menghapuskan kelalaian Maybank dalam menjalankan standard operating procedure yang benar, dengan pengawasan internal dan audit yang teratur untuk menemukan adanya keganjilan dalam kegiatan operasional. Hukum perlindungan konsumen Indonesia tidak menganut asas yang disebut caveat emptor (buyer beware philosophy) atau konsumen/pembeli yang harus berhati-hati, melainkan menganut asas caveat venditor, dimana pihak produsen yang harus menjalankan prinsip kehati-hatian. Oleh karena itu, kalaupun benar Winda membiarkan buku tabungan dan kartu ATM miliknya dipegang oleh kepala cabang, hal itu tidak membuat Maybank lepas dari tanggungjawabnya berdasarkan vicarious liability (majikan bertanggungjawab atas perbuatan melawan hukum karyawannya).
Civil Liability vs Criminal Liability
Jika Winda benar tidak mengetahui tindakan kepala cabang, maka berdasarkan dua asas hukum di atas, Maybank harus bertanggungjawab dan mengembalikan dana milik Winda sebesar 22 Milyar tersebut. Namun demikian, dari kejanggalan yang disebutkan oleh kuasa hukum Maybank bahwa ada aliran dana dari kepala cabang kepada ayah Winda, nampaknya Maybank memiliki “leverage” untuk menekan Winda untuk akhirnya menempuh jalan damai.
Jika benar ada aliran dana kerekening ayah Winda, maka dapat diduga bahwa Maybank lewat kuasa hukumnya akan memainkan kartu pidana untuk “trade off” dengan tanggungjawab perdatanya mengembalikan uang milik Winda. Secara mudah dapat diduga bahwa kalau Winda bersikeras bahwa uangnya telah digelapkan atau dicuri oleh kepala cabang, maka penggelapan atau pencurian uang itu adalah “predicate crime” (pidana asal) guna menjadikan siapapun yang menerima aliran uang hasil kejahatan tersebut sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang (money laundering). Jadi, jika benar ada aliran dana dari kepala cabang kepada ayah Winda, maka secara teoritis ayah Winda memiliki potensi untuk dijadikan tersangka tindak pidana pencucian uang, kecuali dapat dibuktikan tidak adanya mens rea (niat jahat) dalam penerimaan uang tersebut.
Strategi Maybank lewat kuasa hukumnya kurang lebih akan seperti ini. Jika tindakan kepala cabang mengeluarkan dana milik Winda benar tanpa ijin atau sepengetahuan Winda, maka secara perdata Maybank harus bertanggungjawab sesuai asas vicarious liability. Namun demikian, karena kepala cabang melakukan tindak pidana penggelapan atau pencurian uang, maka siapapun yang menerima aliran dana hasil kejahatan itu dapat dijadikan tersangka tindak pidana pencucian uang. Jadi, jika benar ada aliran dana kepada ayah Winda, maka ayah Winda berpotensi untuk menjadi tersangka tindak pidana pencucian uang. Satu-satunya cara agar ayah Winda tidak jadi tersangka tindak pidana pencucian uang adalah mengakui bahwa uang yang diambil oleh kepala cabang adalah atas ijin atau sepengetahuan Winda, sehingga aliran dana yang diterima oleh ayahnya bukanlah uang hasil kejahatan. Dilema semacam inilah yang nampaknya akan dihadapi oleh Winda setelah penyidik polri selesai memeriksa pihak-pihak yang menerima aliran dana dari kepala cabang.
Berdasarkan Analisa hukum di atas, saya tidak akan heran jika akhir dari drama Winda vs Maybank ini berakhir dengan perdamaian.Tebakan saya bisa meleset jika penyidikan polisi menghasilkan fakta-fakta baru yang sebelumnya tidak pernah diberitakan oleh media. Fakta baru itu pasti merupakan hal yang mengejutkan publik dan bersifat anti klimaks. Mari kita ikuti saja kasus ini sampai selesai.
Penulis: Stefanus Haryanto, SH., LLM (Advokat) dan Kontributor FAKTAREVIEW.COM