Oleh: Ahmad Hujairin
Pada akhir tahun 1982, Profesor Doktor Emil Salim terlibat langsung dalam Satuan Tugas Operasi yang sangat tidak biasa. Tugas ini sangat memberikan arti pentingnya lingkungan hidup.
Semula, kata Emil, ratusan gajah hidup tenang di Air Sugihan, Sumatra Selatan (Sumsel). Belakangan kemudian, muncul perkampungan baru dengan hadirnya sekitar 200 ribu jiwa transmigran di daerah itu yang mengusik kehidupan gajah liar. Termasuk penebangan hutan habitat gajah atas nama hak pengusahaan hutan (HPH) pada 1982.
Maka, pada suatu hari, jelang akhir 1982, ratusan gajah merangsek memasuki perkampungan transmigran. Perkampungan yang sebelumnya merupakan habitat gajah. Para transmigran yang ketakutan mengadu kepada TNI setempat. Puluhan anggota TNI bersiap melindungi warga dan berencana menembak gajah-gajah yang merangsek masuk ke pemukiman. “Lebih baik menyelamatkan nyawa manusia,” kata Panglima Kodam Sriwijaya. Kabar tersebut sampai ke telinga Presiden Soeharto.
Emil Salim, ketika itu sebagai Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, yang melaporkan masalah tersebut kepada Presiden. Kisah bermula dari telepon Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat yang diterima Emil yang melaporkan gerombolan gajah akan ditembak tentara, karena akan melintasi perkampungan.
Rombongan gajah itu sesungguhnya sedang melaksanakan ritual tahunan mereka yaitu sebuah perjalanan rutin ke laut untuk memenuhi kebutuhan garam tubuhnya. Sayang, ketika hendak kembali ke hutan, jalurnya sudah terpotong permukiman transmigran.
Setelah menerima laporan Emil Salim, Presiden Soeharto mengangkat telepon berwarna merah di mejanya. Ia menelepon Panglima Kodam Sriwijaya yang juga Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban Daerah (Pangkopkamtibda) Sumsel, Brigadir Jenderal Try Sutrisno. “Try, batalkan rencana penembakan gajah-gajah. Cari jalan lain!” Dari ujung telepon, terdengar suara, “Siap, laksanakan!”
Soeharto pun meminta Emil agar memindahkan gajah-gajah itu. ”Wah, bagaimana caranya? Dalam sejarah dunia belum ada proyek pemindahan gajah,” jawab Emil kepada Soeharto.
Sang presiden tidak mau tahu dan meminta Emil bekerjasama dengan TNI dan instansi lain. Dibentuklah Satuan Tugas (satgas) Operasi Ganesha dipimpin Letnan Kolonel CPM I Gusti Kompyang Manila. Tugas mereka memindahkan 232 gajah dari Air Sugihan ke Lebong Hitam, Lampung, sejauh 70 kilometer.
Tim terdiri dari anggota militer dari Kodam Sriwijaya, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pertanian, Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, beberapa transmigran, dan sejumlah tenaga ahli. Total jumlahnya sekitar 400 orang.
Lalu bagaimana caranya menggiring rombongan gajah? Komandan satgas mengusulkan agar tim membuat bunyi-bunyian dari berbagai benda dan alat musik untuk menggiring gerombolan gajah.
Perjalanan sepanjang 70 kilometer harus melalui medan cukup berat, berupa rawa, hutan, serta sungai dengan lebar sekitar 60 meter. Belum lagi rombongan gajah yang tiba-tiba tidak mau bergerak, ketika ada anak-anak gajah terduduk dan tertidur, karena kelelahan.
“Ternyata dengan badan besar, gajah bisa berbaris teratur. Yang betina di depan dan di samping rombongan. Di bagian tengah berkumpul semua anak gajah dan di belakang berbaris gajah jantan. Sungguh luar biasa, mereka seperti manusia,” ujar Emil menceritakan konfigurasi rombongan gajah.
Ya, Emil mengakui mendapatkan pelajaran dan pengalaman luar biasa dalam perjalanan menggiring gajah. Seperti pasukan tentara yang berbaris dan saling melindungi dari ancaman musuh.
Ketika menyeberangi sungai selebar 60 meter, misalnya, gajah-gajah dewasa berjajar di sungai membentuk jembatan. Lalu anak-anak gajah menyeberang di atas punggung gajah dewasa. ”Benar-benar ajaib,” tutur Emil dengan mata berkaca-kaca.
Tatkala gajah-gajah itu sampai ke tempat tujuan setelah berjalan selama 44 hari, menjadi momentum mengharukan. Para prajurit yang menggiring gajah pun terharu. ”Semua menangis”
Emil Salim, orang baik yang diakui oleh semesta