Oleh: Marsda (Pur) Prayitno Wongsodidjojo Ramelan,
Pengamat intelijen, Old Golfer, Goweser
Minggu jam 03.00 WIB mata sudah ‘menteleng’ nonton pertandingan final US Tenis Open Woman’s Singles antara Emma Raducanu melawan Leylah Fernandez. Seperti tulisan sebelumnya, ini final menarik yg ditonton jutaan pemirsa karena kedua finalis selain muda juga dikatakan ajaib dalam tataran kejuaraan profesional. Ada rasa senang karena wajah keduanya mirip seperti anak Indonesia, juga namanya dan memang ada keturunan Asia
Menurut pengamat olahraga dan serta media asing menyebutkan, hasil Grand Slam ini paling mengejutkan dalam sejarah olahraga, khususnya Emma Raducanu yang memenangkan gelar AS Terbuka pada hari Sabtu setempat, mengalahkan Leylah Fernandez dari Kanada 6-4, 6-3, mengakhiri turnamen kelima yang pernah dia ikuti di level tertinggi tenis wanita.
Emma the Unstoppable
Emma Raducanu tidak membutuhkan pengalaman bermain selama bertahun- tahun di sirkuit pro atau menguji permainannya
melawan para petenis wanita top dunia. Dia bahkan tidak perlu masuk langsung ke AS Terbuka.
Ternyata, semua fenomena gadis berusia 18 tahun dari Inggris Raya yang dibutuhkannya untuk memenangkan gelar juara Grand Slam adalah “ketenangannya” yang luar biasa, “forehand-nya” yang keras dan terarah, tidak grogy di lapangan tenis elite bergengsi di Stadion Arthur Ashe. Dia menunjukkan tingkat kemampuan dan mental yang tidak pernah diperkirakan oleh siapa pun di dunia ini.
Emma Raducanu menjadi peserta yang mengikuti kualifikasi dari pertama dan berhasil memenangkan gelar tunggal Grand Slam di era Terbuka sejak tahun 1968. Peringkat ke-150 di dunia ini dua minggu yang lalu, tidak hanya mengalahkan 10 petenis yang dia lawan di New York, gadis manis ini benar-benar melibas lawan, tidak ada satu setpun yang lepas. Dalam 10 kali pertandingan, dia memenangkan 20 set langsung termasuk tiga pertandingan di turnamen babak kualifikasi sebagai syarat untuk masuk ke babak utama.
Emma Raducanu, tidak bermain secara kompetitif tahun 2020 karena pandemi COVID-19, tetapi mampu membuat terobosan di Wimbledon musim panas hingga mencapai babak keempat. Tak seorang pun, termasuk dirinya, bisa membayangkan pencapaian prestasinya yang spektakuler di US Open, dia menjadi wanita Inggris pertama sejak Virginia Wade pada tahun 1968 untuk memenangkan AS Terbuka.
Di setiap pertandingan, yang dia lakukan hanyalah memukul bola lebih keras dan lebih bersih, memberi tekanan pada lawan- lawannya yang tampak bingung dengan kekuatan dan akurasi pukulannya yang konsisten.
Leylah Fernandez the Giant Killer
Fernandez, pemain berusia 19 tahun yang tidak diunggulkan dalam perjalanan panjangnya sendiri ke final termasuk tiga kemenangan hebat atas pemain peringkat lima besar, pada awalnya menjadi favorit secara sentimental para penonton New York ketika pertandingan final dimulai. Leylah tinggal di AS, tetapi pemegang paspor Canada, saat final dia dapat dukungan kedua orang tuanya.
Sebelumnya Leylah telah mengalahkan A. Sabalenka di semi final, pada perempat final dia mengalahkan E. Svitolina, pada babak 16 besar dia menumbangkan A. Kerber, pada babak ke tiga Leylah juga mengandaskan Naomi Osaka (mantan juara US Open dua kali).
Sekilas Dinamika Pertandingan
Emma mengatur break pada momen-momen penting dlm dinamika pertandingan, pukulan-pukulan forehand yang bersih dan akurat akhirnya mampu menyelesaikan set pertama.
Leylah mencoba mengubah momentum pertandingan untuk di awal set kedua, tetapi servisnya yang kurang baik agak lagi mengganggu kemampuannya untuk menuai poin.
Saat skor 5-2, Emma tergelincir dan mengambil medical timeout untuk membalut luka di lutut kirinya. Tapi akhirnya Emma Raducanu mampu bangkit kembali dengan cepat dan menyelesaikan pertandingan dengan ace di sudut backhand. Gadis manis yang tak terhentikan itu memenangkan pertandingan prestisius yang diimpikan banyak petenis profesional, dia terlentang bersyukur sebagai juara AS Terbuka, dan yang terhebat di sakunya membawa cek sebesar US$2,5 juta, atau sekitar Rp 35 miliar. Sementara Leylah Fernandez mengantongi US$1,75 juta.
Analisis dan Penutup
Apa pelajaran dari final US Open Woman’s Singles itu? Jelas kedua gadis yg usianya hampir sama (19 tahun) itu tidak akan mencapai final begitu saja. Memang ada upaya keduanya harus berlatih keras, tetapi kalau melihat dinamika (road to final) rasanya kecil kemungkinan mereka sukses. Lawan-lawan mereka para senior yang sudah sangat berpengalaman, faham psikologi lawannya, tahu mental lawan. Dari perspektif intelijen para pemain senior bisa menilai kekuatan, kemampuan dan kerawanan (titik lemah dan mematikan) lawannya. Jadi ini bukan sekedar latihan keras belaka, ada ilmu penunjang lain yang memperkuat basis mental si pemain.
Sebagai penutup penulis sangat percaya ada invicible hand dibelakang ini, yaitu takdir dan ridha Allah. Di saat manusia di dunia sedang didera pandemi COVID19, kita disuguhi pertandingan hebat. Dua gadis 19 tahun mampu memenangkan pertarungan. Pertanyaannya, apakah demikian banyak manusia pintar, ahli, senior, hebat kini sulit bisa menang melawsn pandemi? Penulis mencoba membacanya mungkin ini perlu kita renungkan sebagai sesuatu yang tersirat lebih dalam. Wallahualam. Pray Old Soldier.