Flexing di Media Sosial
Oleh: Dr. Dian Umar
Gara-gara kasus anak pejabat ditjen pajak, Mario Dandy Satrio, istilah flexing menjadi trending topik di media sosial. Pada akhirnya menyoroti kehidupan para pejabat publik yang bergaya hidup mewah.
Flexing adalah orang yang suka memamerkan diri, misalnya pamer harta kekayaan, gaya hidup, aktivitas sosial, prestasi hingga pamer beribadah.
Mengapa orang suka flexing? Biasanya flexing dilakukan sebagai upaya untuk menutupi kekurangan harga diri hingga berupaya membuat orang terkesan dengan dirinya. Ketika orang tersebut mengunggah sesuatu yang dinilai berharga oleh orang lain dan memerlukan validasi bahwa dia dapat dianggap hebat dan berharga sehingga orang-orang akan kagum kepada dirinya.
Fenomena flexing berkembang seiring dengan hadirnya media sosial. Orang yang senang flexing ada kecenderungan berperilaku impulsif. Misalnya membeli barang-barang bermerek hanya untuk dipamerkan di media sosial.
Flexing salah satu teknik dari manajemen impresi diri, biasanya dilakukan agar orang tersebut bisa diterima, diakui dan layak menjadi bagian dari komunitas tertentu. Jika flexing menjadi satu-satunya aktivitas dalam mengembangkan impresi diri dapat berdampak buruk pada perkembangan pribadinya, merasa cemas apabila tidak mengunggah sesuatu dan merasa tersaingi oleh orang lain yang juga melakukan flexing. Akhirnya flexing menjadi toxic bagi dirinya.
Salah satu tulisan yang dilansir Forbes mengungkapkan di dunia bisnis banyak CEO memoles penampilannya dengan barang-barang bermerk untuk membangun kesan tertentu. Ini juga merupakan bagian dari flexing dan sah- sah saja. Namun impresi diri yang baik bukan sekedar memoles casing (penampilan diri) seyogianya diiringi dengan kualitas diri yang mumpuni. Kesuksesan seseorang dapat diraih melalui 3 hal: Intelektual, talenta dan pesona diri.
Tabik,
Dian Umar