Pemberian gelar HAJI memang tergolong unik dan hanya ada di Indonesia. Lantas siapa yang pertama kali memberikan sebutan “HAJI” atau “HAJJAH” bagi Jamaah yang telah melaksanakan Ibadah Di Tanah Suci dan sekembalinya ke Tanah Air.
Seiring berjalannya waktu, sebutan gelar ‘HAJI’ itupun semakin populer, Alhasil, secara turun temurun hingga kini panggilan ‘Haji’ menjadi akrab di telinga kita, bahkan menular ke negara tetangga seperti Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura dan Thailand bagian Selatan ( Patanni)
Ada yang sudah naik haji, kalau tidak dipanggil Namanya pakai gelar “HAJI” tidak noleh-noleh,. Bahkan ada beberapa orang (semoga Allah mengikhlaskan niat mereka), tidak mau dan bahkan marah jika tidak dipanggil dengan gelar “HAJI” atau dalam namanya tidak ada singkatan “H” atau “Hj” yang berarti haji dan hajjah, misalnya Haji Fulan dan Hajah Fulanah.
“Ini merupakan kesalahan, karena padanya terdapat bentuk
RIYA’, Ibadah Haji bukan untuk mendapatkan Gelar Haji dan tidak sepantasnya orang lain memanggil dengannya, karena dahulu dimasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam orang-orang tidak pernah mengatakannya kepada orang yang selesai berhaji, “Anda Haji”.
(Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah)
Kitab Majmu Fatawa wa Rasail, 24/204.
Satu hal yang harus dijaga setelah selesai ibadah haji ataupun umrah adalah KEIKHLASAN ( Tidak perlu orang lain tahu bahwa kita sudah naik haji ). Berharaplah balasan pahala dari Allah SubhaNahuwaTa’ala semata, bukan karena riya’, bukan karena pujian manusia dan bukan karena “gengsi-gengsian” untuk mendapat Gelar Haji.
Gelar HAJI tidak ada contoh dan tuntunannya dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, serta para imam Mahzab dan ulama-ulama sebelum kita.
Mari ber-Muhasabah dengan Keikhlasan, agar ibadah haji bukan sekedar haji “FORMALITAS”..
Allah mencintai hamba-Nya yang menyembunyikan amalnya dan mencintai hamba yang hanya mengharap ridha kepada-Nya semata.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka menyembunyikan amalannya.”
(HR. Muslim no. 2965)
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُوراً
“Dan Kami datang kepada amalan yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al Furqan: 23).
Melihat pemandangan banyaknya orang yang berangkat ke Makkah untuk berhaji, seseorang berkata kepada sahabat mulia, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Alangkah banyaknya orang yang berhaji.” Akan tetapi Ibnu Umar merespon dengan kalimat, “Sebaliknya, alangkah banyaknya orang yang berkendara, dan alangkah sedikitnya orang yang benar-benar berhaji.”
Syuraih rahimahullah mengatakan,
“Orang yang benar-benar berhaji itu sedikit, sedangkan orang yang berkendara (menuju Makkah) itu yang banyak.”
Syekh Badr bin Nashir al-Badr hafizhahullahu menuturkan,
“Alangkah banyaknya orang yang beramal kebaikan, namun alangkah sedikitnya yang benar-benar mengharap wajah Allah (ikhlas lillahi ta’ala). Ini nyata. Betapa banyak orang yang menuju ke baitullahil-haram untuk mengerjakan haji atau umrah namun biayanya dari uang haram, haji atau umrahnya riya’ dan sum’ah, untuk berbangga diri di tengah manusia, atau hajinya tidak sesuai tuntunan dan tidak sejalan dengan Syariat.”
(Ahwalus-Salaf fil-Hajj, hlm. 25-26)
Sejarah Gelar Haji di Indonesia
Untuk Pertama Kali seharah gelar Haji di Indonesia, adanya campur tsngan Pemerintahan Hindia Belanda.
Terkait penyematan gelar haji untuk pertama kalinya di Indonesia ini, Pakar Ilmu Linguistik Arab lulusan Cairo-Mesir, Ustadz Miftah el-Banjary menjelaskan, panggilan haji di Tanah Air ini dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Secara politis di masa kolonial, ibadah haji memiliki kekuatan politis yang bisa menjadi gerakan politik yang sangat diperhitungkan oleh Belanda.
Belanda mengkhawatirkan dampak politis dari ibadah haji, karena orang-orang yang pulang dari ibadah haji diterima sebagai orang suci di Jawa. Karena itulah, para haji diyakini lebih didengar penduduk awam lainnya sehingga pemerintah Belanda membuat peraturan ketat yang berhubungan dengan ibadah Haji.
“Tahun 1859 dibuatlah peraturan baru yaitu paspor haji gratis, calon haji harus membuktikan mereka punya biaya pulang pergi dan biaya untuk keluarga yang ditinggalkan.
Dari kronologis sejarah sesungguhnya sebutan haji pada awalnya bagian dari taktik dan strategi kolonial memberikan atribut politik bagi orang muslim yang datang dari Makkah untuk dibatasi pergerakan politisnya melawan penjajahan Belanda.
Gelar Haji mulai muncul di Indonesia sejak tahun 1916. Sejarahnya (gelar haji) dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori oleh Guru thariqah, Haji, Ulama-ulama dari pesantren. Tiga komponen itu yang menjadi ‘biang kerok’ pemberontakan terhadap kompeni Belanda, sampai membuat kompeni kewalahan.
Kolonial Belanda sampai kebingungan karena setiap warga pribumi pulang dari Tanah Suci selalu terjadi pemberontakan. “Tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan orang yang pulang berhaji, terutama Kiai-Kiai dari pesantren-pesantren.
Untuk memudahkan pengawasan, pada tahun 1916 Belanda mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari ibadah haji wajib menggunakan gelar ‘Haji’.
Namun, seiring berkembangnya zaman, saat ini gelar haji kerap dijadikan sebagai penanda kelas sosial-ekonomi di tengah-tengah Masyarakat kita.
Semoga kaum muslimin muslimat selalu berusaha menjaga niat ikhlas mereka. Dan Semoga Allah menerima ibadah haji dan menjadikan haji nya haji yang mabrur.
Amin ya mujiibas saa-ilin.
Haji Yang Mabrur
Sumber: Copas/ https://m.facebook.com