Anjuran Mencatat dan Menghadirkan Saksi dalam Utang
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Islam memotivasi agar transaksi utang yang dilakukan di tengah masyarakat dicatat. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya.(QS. al-Baqarah: 282).
Secara tekstual, ayat ini di atas berisi perintah untuk menulis utang yang dilakukan manusia. Hanya saja ulama berbeda pendapat dalam memahami perintah ini, apakah menunjukkan wajib, ataukah hanya anjuran.
✅ Pertama, madzhab dzahiriyah, ayat ini menjadi dalil wajibnya menulis transaksi utang piutang yang pelunasannya tertunda.
Ibnu Hazm adz-Dzahiri mengatakan,
فإن كان القرض إلى أجل، ففرض عليهما أن يكتباه وأن يشهدا عليه عدلين فصاعدا أو رجلا وامرأتين، عدولا فصاعدا. فإن كان ذلك في سفر ولم يجدا كاتبا فإن شاء الذي له الدين أن يرتهن به رهنا فله ذلك
Jika utang ditangguhkan pelunasannya, maka wajib bagi keduanya untuk menuliskannya dan mencari saksi dua orang atau lebih atau seorang lelaki dengan dua wanita yang adil, atau lebih. Jika dia dalam safar, dan tidak menemukan orang yang mencatat, jika mau, orang yang berutang bisa menggadaikan sesuatu. (al-Muhalla, 6/351)
✅ Kedua, mayoritas ulama dari kalangan hanafiyah, malikiyah, syafiiyah, dan hambali, berpendapat bahwa mencatat transaksi utang menghadirkan saksi ketika transaksi, hukumnya tidak wajib.
Sementara perintah dalam ayat sifatnya bimbingan agar manusia lebih hati-hati dan lebih yakin dalam melakukan muamalah dengan orang lain, terutama masalah utang. Sehingga statusnya bukan perintah yang wajib dikerjakan.
Imam as-Syafii menjelaskan dengan bagus tafsir ayat ini. Beliau menyebutkan, ada dua alasan, mengapa perintah dalam ayat di atas (al-Baqarah: 282) bukan perintah wajib,
Di ayat berikutnya (283), Allah perintahkan ketika seseorang tidak menemukan penulis, agar menggadaikan barangnya.
Di lanjutan ayat, Allah bolehkan untuk tidak menggadaikan barang, selama masing-masing yakin bisa saling menjaga amanah.
As-Syafii dalam Ahkam al-Quran mengatakan,
فلما أمر إذا لم يجدوا كاتبا بالرهن، ثم أباح ترك الرهن وقال [فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ ] فدل على أن الأمر الأول دلالة على الحظ لا فرض فيه يعصي من تركه.
Ketika Allah perintahkan untuk menggadaikan barang, apabila tidak menemukan penulis, kemudian Allah bolehkan untuk tidak menggadaikan barang, melalui firman-Nya,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) (QS. al-Baqarah: 283)
Ini menunjukkan bahwa perintah di ayat sebelumnya, memberi kesimpulan anjuran, dan bukan kewajiban yang ketika ditinggalkan, bernilai maksiat. (Ahkam al-Quran, 2/127).
Sementara itu, Imam Abu Bakr al-Jasshas – ulama hanafiyah – (w. 370 H) menjelaskan bahwa para ulama sepakat, adanya catatan dan kehadian saksi dalam transaksi utang piutang, hukumnya tidak wajib.
Dibuktikan dengan banyaknya transaksi utang piutang sejak masa silam, dan turun temurun hingga masa beliau, namun mereka tidak mencatatnya dan tidak menghadirkan saksi.
Dalam karyanya Ahkam al-Quran, Beliau mengatakan.,
ولا خلاف بين فقهاء الأمصار أن الأمر بالكتابة والإشهاد والرهن المذكور جميعه في هذه الآية ندب
وإرشاد إلى ما لنا فيه الحظ والصلاح والاحتياط للدين والدنيا، وأن شيئاً من ذلك غير واجب.
Tidak ada perselisihan di antara ulama dari berbagai negeri, bahwa perintah untuk menulis dan mengambil saksi, serta menggadaikan barang, seperti yang disebutkan dalam ayat, statusnya anjuran dan bimbingan, yang lebih memberikan keuntungan dan kebaikan bagi kita, serta kehati-hatian dalam masalah utang dan urusan dunia. Dan semua itu tidak wajib.
Kemudian beliau melanjutkan,
وقد نقلت الأمة خلفا عن سلف عقود المداينات والأشربة والبياعات في أمصارهم من غير إشهاد، مع علم فقهائهم بذلك من غير نكير منهم عليهم، ولو كان الإشهاد واجبا لما تركوا النكير على تاركه مع علمهم به. وفي ذلك دليل على أنهم رأوه ندبا، وذلك منقول من عصر النبي صلى االله عليه وسلم إلى يومنا هذا
Umat generasi sekarang telah mengikuti pendahulunya dalam akad utang-piutang, jual beli di berbagai daerah, tanpa adanya saksi. Padahal para ulama mereka mengetahui, tanpa ada pengingkaran ulama untuk mereka. Andai menghadirkan saksi itu wajib, tentu mereka tidak akan tinggal diam untuk mengingkari orang yang tidak melakukannya, padahal mereka tahu. Ini menunjukkan bahwa mereka menganggap hal itu sifatnya anjuran. Dan semacam ini dinukil dari sejak masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai masa kita saat ini.
(Ahkam al-Quran, al-Jasshas, 1/482).
Dengan memperhatikan keterangan di atas, menunjukkan bahwa hukum asal pencatatan dan saksi dalam transaksi utang itu sifatnya anjuran.
Akan tetapi, jika bisa dipastikan akan menimbulkan sengketa dan pertikaian jika tidak ada pencatatan, maka mencatat transaksi utang atau menghadirkan saksi dalam hal ini statusnya wajib.
Rincian semacam ini, disampaikan oleh Imam as-Sa’di dalam tafsirnya,
الأمر بكتابة جميع عقود المداينات إما وجوبا وإما استحبابا لشدة الحاجة إلى كتابتها، لأنها بدون الكتابة يدخلها من الغلط والنسيان والمنازعة والمشاجرة شر عظيم
Perintah untuk mencatat setiap akad utang piutang, bisa hukumnya wajib, dan bisa anjuran. Mengingat besarnya kebutuhan untuk mencatatnya. Karena jika tanpa dicatat, rentan kesalahan, lupa, perselisihan, dan pertikaian, yang itu kejelekan yang besar. (Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 118).
Allahu a’lam.
Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah)
Sumber: PengusahaMuslim.com