Puasa mengajarkan apa makna rasa ingin atau keinginan yang sesungguhnya . Kita tahu , makin aneh-aneh dan makin besar keinginan , jika mau sesuatu yang ini dan itu , maka akan makin besar kerepotan kita dan makin besar pula potensi kecewa dan luka .
Itu tak jarang terjadi karena orang tak memahami apa sebenarnya ‘rasa ingin’ itu , kerena dibulan Ramadhan ini ujian praktek yang harus kita lakoni berdasar ketaatan kepada Tuhan dengan rasa ikhlas diri .
Pencitraan diri sejatinya merupakan salah satu naluri manusia . Umumnya , kita ingin dikenal sebagai orang baik .
Tidak ada yang ingin dikenal sebagai orang jahat . Akan tetapi , keinginan dianggap sebagai orang baik itu sekarang bisa dikemas dan dipoles , sehingga orang yang tidak baik pun bisa turut menampilkan citra sebagai orang baik .
Puasa , salah satunya , melatih diri untuk kembali pada sisi kemanusiaan kita : dikenal baik karena berbuat baik , bukan karena seolah-olah baik .
Agama mengenal istilah riya’ , yaitu mereka yang beribadah karena hendak pamer diri , bukan karena lilahi ta’ala [ untuk menghamba semata padaNya ] .
Kesalehan yang dipoles di ruang publik , meskipun membuat pahala amal ibadah menjadi sia-sia , namun di mata khalayak atau bisa menjadi sangat bernilai , dan pada gilirannya dapat mendatangkan keuntungan duniawi .
Koruptor yang bersedekah mendirikan rumah ibadah , atau naik haji berkali-kali , dengan menggunakan sejumput uang hasil korupsinya , boleh jadi berhasil memoles citra dirinya sebagai orang alim .
Begitu juga mereka yang menjelang kampanye politik mendadak rajin ke pesantren dan mengenakan pakaian ala santri untk mengelola kesan peduli urusan umat di mata pemilih tradisional .
Pencitraan ini semakin massif dilakukan melalui berbagai platform media sosial bahkan dengan menggerakkan buzzer masing-masing .
Secara marketing politik , sesuai saran para konsultannya , tentu cara-cara seperti ini dianggap lumrah dan syah , meski , sekali lagi , nilai ibadahnya menjadi sia-sia .
Dalam konteks ini , puasa Ramadan menjadi ibadah yang unik . Ini adalah ibadah diam , pasif , dan sunyi . Tak bisa dipoles biar anda seolah terlihat paling lemas dan paling merasakan lapar .
Tak bisa dikemas agar anda terkesan sebagai orang yang paling lama berpuasa karena semua orang mengawali dan mengakhiri puasa dalam periode waktu yang sama .
Tak bisa pula dilakukan brand image seolah anda yang paling mengerti agama karena ibadah puasa amat simpel : cukup diawali dengan niat dan kemudian menahan diri dari makan – minum – seks , tanpa harus menggunakan atribut tertentu , sesederhana itu .
Ini berbeda dengan ibadah shalat yang bisa berlama-lama di depan publik , namun cepat-cepat dikerjakan saat sendirian .
Berbeda pula dengan ibadah zakat yang bisa ketahuan anda membayar sekian banyak dan umat diminta mengantri untuk mengambil pemberian zakat anda .
Atau seperti ibadah haji yang bisa dilakukan berkali-kali di saat kebanyakan rakyat harus lama menunggu masuk quota keberangkatan .
Anda tak bisa melakukan pencitraan di saat melakukan ibadah puasa .
Dengan kata lain , puasa benar-benar ibadah untuk Tuhan , persis seperti yang disebut dalam hadits qudsi . Puasa Ramadan membuat semua terlihat sama .
Tak ada kesan yang bisa dikelola , dan pesan yang direkayasa . Justru muatan sosial puasa membuat kita menengok jauh ke dalam sisi kemanusiaan kita : merasakan penderitaan fakir miskin yang dipaksa berpuasa sepanjang tahun akibat ketimpangan sosial yang ada .
Alih-alih melakukan berbagai aksi , puasa di bulan suci Ramadan mengikis segala kosmetik pencitraan diri kita .
Kita semua sama . Sama-sama lapar dan dahaga . Pada titik ini , semoga bulan Ramadan mampu mengubah kebiasaan pencitraan diri dengan cara menumbuhkan kesadaran akan amanah penderitaan orang-orang miskin .
Berpuasalah bersama rakyat agar memahami nestapa mereka , lebih-lebih di saat harga bahan pokok meroket saat ini . Mudah untuk dituliskan tapi butuh komitmen serius untuk melakukannya , bukan ?
Kita tidak bisa menilai orang lain apakah tulus atau tidak dalam ketulusan dalam yang dikerjakan , karena itu rahasia mereka dengan Tuhannya , namun kita bisa menilai diri kita sendiri seperti apa kondisi ketulusan dalam beribadah baik lahir dan batin sendiri asal kita mau jujur pada ‘diri’ sendiri ‘-‘ .
Wa Allahu a’lam
Sumber: Sajak Islam/Moch Anshary