Ketika malam larut dan sepi acapkali diri ini merenung , kadang berkontempelasi dan membaca zaman yang berjalan dan yang pergi .
Dalam permenungan itu saat membaca zaman yang gelisah , dunia galau , manusia-manusia yang ditelikung kecemasan , celoteh yang tak jelas dan kata-kata yang tumpang tindih , kemarahan , bising , gegap-gempita , simpang-siur , gemuruh berebut citra diri ,
dan pelampiasan segala hasrat untuk kenikmatan diri , perampasan hak milik orang lain , pemaksaan kehendak , menggali popularitas , pencitraan diri untuk kekuasaan dan pamer kekuatan dan kekayaan .
Ada orang-orang yang memandang semua orang seakan tak berharga , kecuali dirinya . Kesombongan dan arogansi ditampilkan begitu vulgar .
Keseimbangan ruang sosial tampak sedang terganggu dan mencemaskan . Ini adalah realitas-realitas kehidupan yang terus bergerak begitu bebas bahkan liar dalam siklus-siklus kehidupan yang entah sampai kapan akan berakhir .
Ia adalah produk zaman yang terserah orang ingin menamainya apa . Dunia manusia di hadapan kita sarat paradox , ambigu , ambivalen .
Hari ini , paradoks kegelisahan manusia itu begitu nyata , menyeruak di setiap ruang . Pertarungan sedang berlangsung , nyaris bagai pada kisah Perang Baratayuda dalam legenda Mahabarata .
Dan dalam kondisi itu Tuhan selalu menjadi senjata paling ampuh untuk mengalahkan yang lain , menjadi sumber kenikmatan dan tempat bersembunyi yang paling aman dan nyaman .
Agama , di mana Tuhan selalu disebut di dalamnya , tampak bertambah amat penting dalam hidup orang banyak , memberi kekuatan , menerangi jalan dan menyediakan harapan-harapan keindahan
Nama Tuhan Maha Agung dan Kudus disebut ramai-ramai , dalam hening , dalam lirih dan dalam gempita .
Hampir di setiap ruang nama Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Kuasa diulang-ulang beratus dan beribu kali ketika malam telah larut , dan dalam gemuruh yang meluluhkan hati dan mengembangkan air mata bahagia dan mengharubiru .
Tetapi , betapa ironi , dalam waktu yang sama , di sudut lain , rumah-rumah tempat Tuhan dipuja dan diagungkan dirusak , para pemuja Tuhan diusir dengan pedang dan parang kadang hanya karena nama dan identitasnya yang tak sama dengan dirinya . Perempuan-perempuan direndahkan , dihinajan , disingkirkan dan dihancurkan atas nama-Nya .
Anak-anak dijajakan untuk segela kepentingan dan hasrat-hasrat paling rendah . Kekerasan seksual menyebar ke mana-mana , di mana-mana , bahkan di lembaga pendidikan agama yang disakralkan . Dan korupsi masih terus berkembang bahkan makin masif dan menyebar .
Pada saat lain Tuhan tak lagi menampakkan Wajah Lembut dan penuh Kasih , malahan menjadi begitu menakutkan , menyeramkan .
Di jalan-jalan , hari ini , Kata-kata Tuhan diteriakkan dengan garang : “Ini kata Tuhan . Kata-kata-Nya tak boleh ditentang . Siapa menentang kafir dan zalim . Karena itu ia wajib dimampuskan” . Semua orang ingin bicara atas nama Tuhan dan berebut mengaku paling mengerti Tuhan .
Sampai di sini aku tak bisa bicara apa-apa . Dan aku tertegun manakala membaca kata-kata seorang bijakbestari dalam sebuah buku :
“Sejak dahulu manusia memanfaatkan agama untuk membantu mereka mencari pemahaman bahwa hidup kita mempunyai arti dan nilai hakiki meski ada bukti-bukti yang kontras yang tidak membesarkan hati” .
Sang bijakbestari lain mengatakan : Agama seharusnya hadir untuk membawa cahaya yang menerangi hati , mencerdaskan pikiran dan mendamaikan kehidupan bersama .
Tetapi ia acap berubah menjadi api yang menyala , membakar dan petaka yang menghancurkan bangunan sosial .
Dalam kehidupan bermasyarakat dibutuhkan adanya Relasi yang baik-baik namun menyembunyikan niat yang egoistik biasanya memuat beberapa kebohongan .
Kadang-kadang , dalam relasi kita dengan Tuhan pun demikian . Ada kalanya kita mengatasnamakan dakwah atau bahkan mengatasnamakan Tuhan demi ambisi duniawi .
Kadang-kadang mengaku lillahi ta’ala , namun jalan terus , atau sesekali diam-diam ingin diakui dan dipuji manusia via ibadah . Atau bertobat namun mengulang dosa yang sama atau memilih dosa yang lain .
Membangun sesuatu atau berbuat sesuatu berbasis dusta itu seperti membuat istana pasir di tepi pantai ‘-‘ .
Wa Allahu a’lam
Sumber: Sajak Islam/M. Anshary