Penampilan bisa direkayasa seindah yang di inginkan , namun bisakah kemudian menyelaraskan antara penampilan dan perbuatan.
Kehidupan dimulai ketika ada rasa ketakutan , dihinggapi keraguan dan kekhawatiran yang telah dilepaskan . Pikiran selalu ingin melihat keluar untuk bisa mendapatkan kebahagiaan , padahal setiap hal indah terjadi di dalam diri .
Matahari tak pernah melihat malam , diri pun tak perlu melihat aib dan kesalahan orang lain . Sibukanlah diri pada aib sendiri.
Tatkala dalam diri ada semacam perasaan puas atau senang yang amat halus ketika memandang orang lain melakukan kesalahan lalu orang itu diejek banyak orang karena kesalahannya itu.
Boleh jadi kita diam , tidak mengejek , namun diam-diam hati senang menikmati setiap hujatan dan ejekan yang diarahkan kepada orang yang bersalah itu . Dengan kata lain , kita tak mengejek secara lisan , namun mengejek dengan hati.
Hal semacam itu kerap dirasakan namun diabaikan , karena hati sudah terlanjur tak suka atau benci pada orang lain , dengan berbagai sebab.
Tiap rasa perasaan ada bahasanya sendiri . Bahasa kebencian tak melulu hanya via lisan kasar dan bengis , tetapi juga via rasa dendam , mengejek diam-diam , dan yang semacam itu .
Ketika kita memelihara rasa benci yang halus itu , maka kebencian akan seperti lagu yang tak dilantunkan , namun selalu berkumandang di hati dan pikiran , lama-lama membuat diri lelah karena energi habis menuruti kebencian itu .
Bila rasa perasaan negatif yang amat halus ini diabaikan terus , perlahan ia akan menebal dan diri dikuasai oleh kebencian dan pada akhirnya melahirkan beberapa manifestasi sifat lain , seperti angkuh karena merasa lebih baik atau “lebih suci” atau sifat pendendam , pemarah dan lain-lain.
Getaran kebencian di hati akan bisa dipahami oleh kebencian di hati orang lain . Ketika dua pihak saling membenci , meski tak saling berkata atau bahkan tak saling kenal [ seperti kasus yang kerap kita lihat di medsos , di mana orang yang tak saling kenal bisa saling membenci ] maka yang terjadi sesungguhnya adalah percakapan kebencian dari hati ke hati.
Itu sebabnya agak sulit menepis permusuhan jika bahasa benci , entah via lisan , tulisan atau rasa , yang kita gunakan . Dan karena rasa benci bertemu rasa benci , bisa jadi keduanya “melebur” dan bertukar posisi.
Kesalahan orang lain akan diam-diam tanpa sadar kita ambil sehingga kita melakukan kesalahan yang sama seperti kesalahan yang dilakukan orang yang kita hujat , meski kesalahan itu kadang dalam bentuk yang berbeda namun esensinya sama.
Belajar menahan diri dan instropeksi adalah langkah awal agar kita bisa mengenali kebencian dalam hati yang tersembunyi dan mendapat petunjuk cara menghilangkannya.
Kita sesama manusia pasti punya salah masing-masing . Oleh karenanya , seperti kata orang , “Hanya karena dosaku berbeda denganmu , bukan berarti aku lebih baik daripadamu”.
Wa Allahu a’lam.
Sajak Islam/ Moch Anshary