Kecerdasan Prabowo di Singapura
By: Dwipa Pramudya
Diketahui bahwa pada Jumat 10 Juni 2022, Menhan Prabowo berada di Singapura dalam rangka berbicara pada forum dunia, International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue 2022 dengan tajuk yang cukup mentereng “Mengelola Persaingan Geopolitik di Kawasan Multipolar.”
Forum ini adalah salah satu forum terpenting bagi pejabat senior dunia untuk berbagi perspektif baru tentang tantangan keamanan yang berkembang di Asia.
Namun demikian, ada yang menarik dari perjalanan Prabowo ke Singapura. Menteri Pertahanan (Menhan) RI Prabowo Subianto juga melaksanakan kunjungan kehormatan kepada Menteri Pertahanan Republik Singapura H.E. Dr. Ng Eng Hen di Kementerian Pertahanan Singapura.
Selain itu Menhan Prabowo juga akan menemui Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dan Menteri Senior dan Menteri Koordinator Keamanan Nasional Singapura Teo Chee Hean.
Inilah salah satu kecerdasan seorang Prabowo Subianto. Tugas yang dia emban tak sekadar menjadi pembicara di sebuah forum internasional belaka.
Nama-nama petinggi Singapura yang saya sebutkan di atas sebelumnya mengingatkan kita pada 3 dimensi pembahasan kerja sama bilateral Indonesia-Singapura di bidang pertahanan dan keamanan, yaitu: Defence Cooperation Agreement (DCA), Military Training Area (MTA), dan Flight Information Region (FIR). Pembahasan ketiga dimensi sensitif tersebut selalu menemui kesulitan tersendiri selama bertahun-tahun lamanya, karena sangat berkait erat dengan kepentingan nasional masing-masing negara.
Sebagai contoh. Teo Chee Hean (dulu menjabat sebagai Menhan Singapura) turut menandatangani Defence Cooperation Agreement (DCA), yaitu kerja sama pertahanan antara Singapura dengan Indonesia. Perjanjian ini disepakati oleh kedua pemerintah di Bali pada tanggal 27 April 2007. Menteri Pertahanan (Menhan) RI saat itu adalah Juwono Sudarsono. Kesepakatan dua pemerintah ini pada intinya adalah agenda latihan militer bersama kedua negara. DCA ini dapat dijalankan setelah diratifikasi kedua negara untuk berlaku selama 25 tahun.
Uniknya adalah, meskipun sudah ditandatangani, DCA belum dapat diberlakukan. Ini dikarenakan pihak Indonesia gagal meratifikasinya ketika mayoritas anggota DPR menentang kesepakatan ini pada tahun 2007. DPR berargumen bahwa DCA dapat merugikan kepentingan nasional, terutama karena adanya klausul yang membolehkan Singapura berlatih militer di daerah Sumatera.
Selain itu, Perjanjian Ekstradisi, tanpa ratifikasi DCA juga akan ikut batal karena merupakan satu paket kesepakatan bersama. Situasi sepertinya semakin rumit.
Persoalan lainnya yang mengemuka adalah proyek reklamasi di bagian selatan Singapura yang menjorok ke arah wilayah RI, sedangkan kebutuhan pasir untuk reklamasi itu diperoleh dari Indonesia (Kepulauan Riau). Bayangkan, untuk keperluan reklamasi tersebut diperkirakan Singapura membutuhkan pasir sebanyak 1,615 miliar kubik. Jumlah yang tak bisa dibilang sedikit.
Namun demikian, Singapura merupakan salah satu partner ekonomi utama bagi Indonesia di bidang investasi dan perdagangan. Pada kuartal pertama tahun 2021, penanaman modal asing (Foreign Direct Investment) dari Singapura mencapai USD 2,6 Miliar yang tersebar pada lebih dari 3.634 proyek. Nilai perdagangan antar kedua negara tercatat sebesar USD 20,47 Milar di tahun 2020 dan mencapai USD 10,97 Miliar dari awal tahun 2021 hingga Mei. Singapura adalah negara sumber investasi terbesar di Indonesia sejak tahun 2014.
Dengan begitu, Indonesia membutuhkan orang secerdas Prabowo untuk menyelesaikan beragam persoalan Geopolitik kawasan yang berpotensi mengganggu hubungan baik dengan Singapura di masa depan.
Prabowo Subianto adalah satu-satunya harapan untuk membawa Indonesia kembali bermartabat dan menjadi kekuatan yang disegani, setidaknya di wilayah Asia Tenggara.