Oleh: Prof. DR. Suhandy Cahaya, SH., MH., MBA.
A.Kejahatan Korporasi
Sejarah kejahatan korporasi dimulai pada zaman Romawi abad XII-XIV. Pada era Revolusi Perancis di Eropa, pertanggungjawaban pidana adalah denda dikenakan kepada kelompok, baik berupa kota , desa, asosiasi, agama, keluarga, pemerintah, daerah, serikat buruh, dan lain-lain, atas perbuatan anggotanya yang diputuskan pidana secara kolektif [collectivity decision].
Pada periode berikutnya setelah Revolusi Perancis, misalnya dalam KUHP Perancis tahun 1810 dan KUHP Negara Eropa Continental lainnya berlaku prinsip societas universitas delinquere non potest [istilah yang dikenalkan malbanck dan savigny] yang memungkinkan individu saja yang dapat bertanggungjawab secara pidana karena menurut teori hukum korporasi hanya merupakan fiksi hukum [artificial persons] yang tidak memilik mens rea atau berbuat in propria persona.
Tetapi sekarang societas universitas delinquere non potest sudah berubah menjadi societas universitas delinquere sed non puniri potest sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 59 KUHP yang isinya adalah sebagai berikut:
‘’Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran terhadap pengurus anggota salah satu pengurus atau komisaris maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris jika ternyata jika pelanggaran itu telah terjadi diluar tanggungannya.’’
Dan R.Soesilo menerangkan, ketentuan dalam pasal ini hanya berlakun bagi pelanggaran misalnya peristiwa pidana tersebut didalam pasal 520 KUHP bagi kejahatan umpamanya yang tersebut dalam pasal 398 KUHP dan selanjutnya.
Bahwa zaman dahulu dunia perdagangan tidak sehebat sekarang ini tetapi kepercayaan antara para pedagang sangat baik dan tinggi sekalipun perihal jual beli atau perbelanjaan hanya menggunakan satu kertas kecil dengan tandatangan sekedarnya ternyanta tidak menimbulkan sengketa sama sekali.
Tetapi zaman tersebut yang terjadi sekitar 1960-an berjalan maju ke depan dan dengan bertambahnya semakin banyak orang-orang pandai sehingga kepercayaan sesama pedagang pun sudah semakin luntur dan sulit serta konflik terjadi dimana-mana baik yang mencakup lingkup nasional, regional ataupun internasional.
Dengan demikian para pedagang atau disebut juga businessmen berusaha untuk mempertahankan hak-hak ataupun harta benda yang di milikinya yakin dengan cara mendirikan Firma, Usaha Dagang [UD], CV dan kemudian yang terbaik adalah Perseroan Terbatas atau PT.
Semula kitab undang-undang Hukum Dagang mengatur tentang adanya firma maupun persekutuan dagang kemudian muncul undang-undang tentang perseroan terbatas no 1/1995 yang kemudian direvisi menjadi undang-undang no.40/2007.
Bahwa ternyata undang-undang tentang Perseroan Terbatas No. 40/2007 tersebut masih banyak kelemahnya khususnya aspek pidana terhadap korporasi ataupun direksi dalam undang-undang tersebut, oleh karena itu penulis yang sebagai staf pengajar hukum pidana pada Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Jayabaya selain membaca hukum yang selalu berkembang dalam kehidupan ini.
Demikian Pendapat EUGEN EHRLICH yang dikuatkan oleh Prof.Dr. Ahmad Ali, SH.,MH., dalam bukunya ‘’Menguak Tabir Hukum”.
I.Pendahuluan
Perkembangan selanjutnya, pada akhir Abad XIX sekalipun korporasi merupakan fiksi hukum juga merupakan entitas yang dianggap mampu melakukan kejahatan. Eropa kontinental jauh tertinggal dari Negara-negara common law yang mendahului rezim pengaturan ini. Dan ketetinggalan ini diakibatkan bahwa hukum pidana terkait dengan hati nurani dan berfungsi membersihkan jiwa yang berdosa.
Baik dalam dunia hukum maupun dalam dunia kedokteran, Negara-negara yang tergabung dalam Civil law selalu ketinggalan dibandingkan Negara-negara yang tergabung dalam common law, dan itu yang selalu penulis lihat selama ini, apalagi Negara kita Indonesia selalu tertinggal dibandingkan dengan Negara-negara Asia lainnya. Jadi dahulu berpendapat, korporasi tidak dapat dihukum karena mereka tidak memiliki tubuh nyata yang dapat dibebani penderitaan dan tidak memiliki jiwa yang harus dipersalahkan atau dikutuk [demikian pendapat keijzer tahun 2013]
Perkembangan di Negara-negara Angelo America lebih pragmatis tanpa harus mempertimbangkan secara mendalam doktrin tradisional hukum pidana dan beranggapan bahwa hukum perdata dan hukum administrasi tidak memadai untuk mengatasi kejahatan korporasi yang semakin berkembang.
Proses globalisasi abad ke-20 dan peningkatan saling ketergantungan dan keterhubungan di semua aspek kehidupan antar Negara, ekonomi, sosial, dan tekhnologi, modal dan jasa, sumber daya dan lain-lain semakin meningkatkan peran korporasi baik nasional maumpun multi nasional sebagai pendorong dan penggerak globalisasi di samping factor Negara. Contoh, Qatar yang saat ini sekitar tujuh Negara di sekitarnya yang telah memutuskan hubungan diplomatiknya, karena telah menduga Negara Qatar adalah sebagai penyandang Negara dari gerakan radikal ISIS.
Untuk itu, kerjasama internasional dan regional antar Negara semakin meningkat sesuai dengan kemampuan dan keunggulan masing-masing, yang terjadi kemudian adalah sampai seberapa jauh korporasi dapat di pertanggungjawabkan secara pidana. Bahkan council of Europe merekomendasikan agar Negara-negara eropa mempertimbangkan kembali untuk mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi, dan Prancis mengikuti saran ini sejak 1994, Belgia [1999], Belanda bahkan lebih cepat [1976] dan Denmark [2002].
Negara Repuplik Indonesia adalah Negara hukum dan bukan Negara kekuasaan. Demikian penjelasan pasal 3 UUD 1945 yang sudah berkali-kali diamandemen. Tetapi kenyataannya di Negara ini, hukum tidak lagi tegak lurus melainkan sudah sangat miring dan hampir jatuh ke titik nadir. Mengapa?
Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa maupun hakim sudah tidak lagi dapat memberikan keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan kita setiap harinya sebab terlihat hampir setiap malam ketika penulis menonton siaran metro TV malam, pada awal penayangannya 3 [tiga] bagian yang lebih dahulu selalu ditonjolkan adalah kekerasan demi kekerasan saja.
Contohnya yang terjadi di Amerika Serikat adalah kasus atau skandal korporasi akuntansi Enron, Kasus Exxon, Kasus Bayer [pharmaceutical], Kasus McWane Inc. Pabrik caSt-iron Pipe yang melakukan pelanggaran yang menyebabkan kematian-kematian, kasus Bopal di India, kasus Tambang Batubara di China dan lainnya.
Jack Douglas dan Frances Cahaput Waksler menyatakan dalam bukunya teori-teori kekerasan sebagai berikut: Dalam pengertian luas kekerasan-kekerasan kolektif dilakukan oleh segerombolan orang [mob] dan kumpulan orang [crowd] dan dalam pengertian sempitnya dilakukan oleh geng. Kemudian kami menguji bentuk kekerasan yang bersifat kolektif maupun individual seperti serangan dengan memukul [assault and battery], pembunuhan [homicide], perkossan [rape] dan akhirnya tindak kekerasan individu seperti bunuh diri [suicide].
Betapa kusutnya negeri kita ini dari sisi kejahatan jalanan atau street crime atau disebut juga blue colour crime sudah sedemikian hebatnya apalagi dari sisi white colour crime atau kejahatan kerah putih atau disebut juga educated crime sudah pasti lebih hebat lagi dan juga dapat di sebut extraordinary crime.
Banyak mahasiswa penulis yang berasal dari Mabes Porli, Mabes TNI, Kejaksaan maupun pengadilan negeri yang masih aktif dan mau belajar di pascasarjana falkutas hukum Universitas Jayabaya dan ingin mendalami mata kuliah Kejahatan karena kejahatan korporasi masih mempunyai peluang yang sangat luas untuk dipelajari dan diperdalam. Sebab kejahatan korporasi adalah suatu kejahatan yang paling menakutkan menutut mantan Jaksa Agung Singgih SH, sehingga dapat diilustrasikan oleh Kautilya [filusuf India, abad III sebelum masehi].
II. Permasalahan
Kejahatan jalanan [street crime] sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti pembunuhan [melanggar pasal 338 KUHP]. Masalah Penggelapan [372], penipuan [378], pasal 351 KUHP tentang masalah penganiayaan [351].
Juga masuk dalam pasal-pasal KUHP adalah kejahatan dalam golongan blue collar crime atau street crime atau conventional crime atau traditional crime atau absolute liability yang termasuk didalamnya pasal-pasal dalam KUHP.
Sangat berbeda dengan kejahatan korporasi yang melibatkan orang-orang pandai atau educated crime, white collar crime, moral crime, menurut penulis nampaknya orang-orang demikian seakan-akan tidak mempunyai dosa apalagi yang perusahaannya yang selalu mengelabuhi dengan trik-trik yang jitu dan handal. Pada momen-momen yang tertentu mereka beriklan melalui media TV, elektronik maupun koran dan mereka mengaku berjasa dan menyumbang atau membantu masyarakat sekitarnya dengan cara-cara membangun rumah ibadah masjid, sekolah, rumah sakit ataupun klinik.
Berita tersebut diekspos diberitakan secara besar-besaran pada hal yang demikian merupakan kewajiban dari perusahaan tersebut seperti apa yang terdapat dalam corporate social responsibility [CSR] yang dapat kita temui dalam undang-undang NO.40/2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 74 Ayat 1.
KUHP Belanda pada 1886 semula tidak mengatur pertanggung jawaban pidana korporasi. Baru pada 1951 melalui The Economic Offence Acting kemudian dilembagakan pada tahun 1976 melalui undang-undang [wet] tanggal 23 Juni 1976 dengan STB.377 yang disahkan pada tanggal 1 September 1976 memunculkan perumusan baru pasal 51 KUHP.
Belanda yang berbunyi sebagai berikut:
1.Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah, dan badan hukum;
Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan tidak dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum didalam undang-undang terhadap: badan hukum atau; terhadap yang memerintahkan melakukan perbuatan pidana itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu atau terhadap yang disebutkan didalam butir [1] dan butir[2] di atas bersama-sama.
2. Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum, perseroan tanpa hak badan hukum, perserikatan, dan yayasan.
Selanjutnya kriteria keperlakuan kejahatan korporasi dalam tindak pidana yang didasarkan atas persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
- Adanya suatu perbuatan atau omisi dari seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya atau untuk alasan lain bekerja dalam badan hukum;
- Apakah perbuatan tersebut sesuai dengan bisnis normal badan hukum?;
- Apakah perbuatan tersebut menguntungkan bisni badan hukum?;
- Apakah badan hukum mampu memutuskan perbuatan tersebut harus terjadi atau tidak?;
- Apakah sebagaimana tampak dalam rangkaian kejadian aktual perbuatan tersebut atau perbuatan yang sama diterima [accepted] atau biasanya diterima [usually accepted] oleh badan hukum? Accepten include not properly taking care of preventing cuh condut as couid reasonably be demanded from the legal enity [pendapat keijzer:2012. Disamping itu ada pendoman lainnya yang dapat dijadikan sebagai pemikiran sebagai berikut:
1. Perbuatan tersebut sesuai dengan tujuan statute dari badan hukum dan atau sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan [bedrijifspolitiek], maka yang terpenting adalah apabila tindakan tersebut sesuai dengan ruangan lingkup pekerjaan [fetelijke werkzaam heden] dari badan hukum.
2. Badan hukum dapat dilakukan sebagai pelaku tindak pidana bilamana perbuatan yang terlarang untuk pertanggungjawabannya dibebankan atas badan hukum yang dilakuakan dalam rangka perlaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut.
3. Badan hukum baru dapat diberlakukan sebagai pelaku tindak pidana apabila dan hukum tersebut berwenang untuk melakukannya, terlepas dari terjadi atau tidak terjadinya tindakan. Syarat kekuasan [machts vereiste] mencakup : wewenang mengatur/menguasai dan/atau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindakan terlarang tersebut; mampu melaksanakan wewenangnya dan pada dasarnya maupun mengambil keputusan-keputusan tentang hal yang bersangkutan; dan mampu mengupayakan kebijakan atau tindakan pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindakan terlarang; selanjutnya syarat penerimaan [akseptasi] [aanvaardings vereiste], hal ini terjadi apabila dan kaitaan erat antara proses pengambilan atau pembentukan keputusan di dalam badan hukum dengan tindakan terlarang tersebut apabila ada kemampuan untuk mengawasi secara cukup, cepat meninggalkan teori-teori tradisional tentang pertanggung jawaban korporasi seperti vicarious liability dan identification theory.
4. Kesengajaan badan hukum terjadi apabila kesengajaan itu pada kenyataannya tercangkup dalam politik perusahaan, atau beberapa dalam kegiatan yang nyata kontruksi pertanggungjawaban [toerekening construction]; kesengajaan dari perorangan [natuurlijk persoon] yang berbuat atas nama korporasi sehingga dianggap juga dapat menimbulkan kesengajaan badan hukum tersebut.
5. Kesengajaan suatu organ dari badan hukum dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam hal-hal tertentu, kesengajaan dari seorang bawahan, bahkan dari orang ketiga, dapat mengakibatkan kesengajaan badan hukum.
6. Pertanggung jawaban juga bergantung kepada organisasi internal dalam korporasi dan cara bagai – mana tanggungjawab dibagi, demikian pula apabila berkaitan dengan masalah kealpaan.
7. Pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum, bahkan sampai kepada kesengajaan kemungkinan.
Dalam penyidikan kejahatan korporasi dapat menggunakan berbagai teori di antarannya yaitu absolute liability/strict liability; vicariuous liability; delegation theory; aggregation theory; identification theory dan teori model organisasi [model budaya kerja perusahaan].
Sejak 1842 korporasi sebagai suatu kesatuan hanya dapat dipertanggung jawaban terhadap tindak pidana yang tidak mensyaratkan adanya mens rea. Dalam hal ini terdapat 3 [tiga] tindak pidana menurut common law yang tidak mensyaratkan adanya mens rea, yaitu: public nuisance, criminal libel, dan contempt of court.
Prinsip umum untuk menemukan kesalahan korporasi adalah the directing mind principle dalam kerangka asas ini perbuatan dan sikap batin dari pejabat senior korporasi yang memiliki direncting mind dapat dianggap sebagai perbuatan dan sikap batin korporasi, hal ini berarti bahwa sikap batin tersebut diidentifikasikan sebagai korporasi dan dengan demikian korporasi dapat di pertanggungjawabkan secara langsung bukan atas dasar vicarious liability. Dengan demikian yang diterapkian adalah identification theory.
B. Tindak Pidana Korupsi
Menurut Fockema Angreade kata korupsi berasal dari bahasa Latin “corruptio“ atau “corruptus” (Webster Student Dic tiory 1960), selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata ‘’coorumpere’’ kata Latin yang lebih terdahulu.
Dari bahasa Latin itulah akhirnya turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu ‘’corruption’’, corrupt. Perancis menyebutkan Corruption dan Belanda menyebut ‘’corruptie’’. Dan kita memberanikan diri dari bahasa Belanda inilah kata itu turun menjadi kata ’’korupsi’’.
Arti kata korupsi tersebut adalah: kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian agama, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dibacakan oleh The Lexicon Webster Dictionary :
Corruption the act of corrupting or the state of being corrupted putrefactive decomposition; putrid matter, moral perversion; depravity; perversion of intergrity; corrupts of dishonest proceeding; bribery; pervesion from a state of purity; the basement, as of a language; a the based from of a word [the lexicon 1978].
Sedangkan menurut ‘’Terminologi Hukum Corruption’’ adalah penyalahgunaan wewenang untuk menguntungkan diri sendiri, sedangkan ’’Corrupt’’ adalah berlaku immoral dan memutarbalikkan kebenaran. Kehidupan yang buruk di dalam penjara misalnya, sering disebut sebagai kehidupan yang korup, yang segala macam kejahatan ada dan sudah terjadi disana.
Meskipun kata corruption itu luas sekali artinya namun sering corruption dipersamakan dengan penyuapan seperti disebut di dalam Ensiklopedia Grate Winkler Prins [1977]; corruptie=omkoping, noemt men het verschijnseln of andere pers onen in dienst der openbare zaak [zie echter hieronder voor zogernamd niet ambtelijk corruptie].
Isitilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia itu disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam kampus umum Bahasa Indonesia: Korupsi ialah perbuatan yang buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Mubyarto yang rupanya menyorot korupsi penyuapan dari segi politik dan ekonomi semata dan mengutip pendapat Smith sebagai berikut: ’’Secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai politik dari pada ekonomi.Ia menyentuh keabsahan atau legitimasi pemerintah dimana generasi muda,kaum elit,dan pegawai pada umunya.Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elit di tingkat provinsi dan kabupaten’’.
Lebih tegas lagi apa yang dikemukakan oleh Gunnar Myrdal sebagai berikut: ’’Masalah itu, korupsi merupakan suatu yang penting bagi pemerintah di Asia Selatan, karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan membongkar korupsi. Dan tindakan penghukuman terhadap pelanggar pemberantasan korupsi biasanya dijadikan pembenar utama terhadap kudeta militer “.
Begitu juga yang dikatakan oleh Huntington sebagai berikut: ’’Akan tetapi tidak berarti bahwa adanya pola korupsi di tingkat atas ini mengganggu stabilitas politik asal saja jalan-jalan untuk mobilitas ke atas melalui partai politik atau birokrasi tetap terbuka. Namun jika pemain-pemain politik dari generasi muda bahwa mereka akan dikesampingkan tidak diberi kesempatan untuk menikmati hasil-hasil yang telah dicapai oleh generasi tua atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan perang melihat tidak ada harapan naik pangkat dan kesempatan yang ada hanya bagi para jenderal, system tersebut akan mudah digunakan oleh kekerasan. Dalam masyarakat seperti ini korupsi politik dan stabilitas politik kedua-duanya tergantung pada mobilitas ke atas’’.
Berdasarkan Pasal 59 KUHP telah menyinggung tentang pengurus-pengurus, anggota-anggota dari suatu pengurus atau komisaris karena suatu pelanggaran dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat di hukum. Memperhatikan Pasal 2 dan Pasal 3 dalam undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang terdapat di dalam Pasal 2 ayat [1] dan Pasal 3 ada menyebut tentang korporasi.
Pada era Revolusi Perancis, dalam KUHP Perancis tahun 1810 dan KUHP Negara Eropa Kontinental lainnya, dulunya berlaku prinsip societas universitas delequere non potes [istilah yang dikenal dengan Malbanck dan Vonsa Vigni yang memungkinkan individu saja yang bertanggung jawab secara pidana,karena menurut teori hukum korporasi hanya merupakan fiksi hukum [artificial person] yang tidak memiliki badan dan jiwa dan tidak memiliki mens rea atau berebut impropria persona, tidak bisa memperkosa dan tidak bisa datang ke pengadilan.Tetapi sekarang keadaan zaman sudah berubah maka istilah societas universitas delequere sed non puniry potes.
[Penulis : Prof. DR. Suhandi Cahaya, SH., MH., MBA adalah seorang Advokat (Konsultan Hukum), Kurator, Mediator, Konsultan HAKI, dan Dosen].