Hari ini bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan di usia yang ke-77. Sebuah fase mature dalam konteks peradaban sebuah bangsa. Akankah fase tersebut equivalen dengan pemenuhan cita-cita kemerdekaan?. Kemerdekaan sejatinya tidak hanya bermakna ‘freedom from’ (bebas dari) berbagai bentuk kolonialisme dan imperialisme yang membelenggu. Di saat yang bersamaan kemerdekaan juga bermakna ‘freedom for’ (bebas untuk) berkarya, mengembangkan potensi diri dalam menyemai kebahagian dan kebermaknaan hidup. Sebagaimana amanat Bung Hatta, “Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat”.
Dalam pandangan Islam, kemerdekaan adalah hal yang esensial. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah mahluk yang bebas/merdeka sejak ia dilahirkan. Manusia hanya tunduk pada Allah, dan tidak boleh menjadi budak orang lain. Perbudakan antar manusia sama artinya dengan melanggar hak Tuhan.
Islam juga mengajarkan nasionalisme kebangsaan. Sebab Islam sendiri mempunyai pengalaman panjang dan bahkan pioneer terbentuknya nasionalisme yang melahirkan negara bangsa. Bukti sahihnya adalah Negara Madinah yang didirikan Nabi Muhammad SAW sebagai negara bangsa pertama di dunia.
Relasi negara dan agama (islam) digambarkan secara menarik oleh Imam Al-Ghazali, menurutnya “Kekuasaan (negara) dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama adalah landasan, sedangkan kekuasaan/negara adalah pemelihara. Sesuatu tanpa landasan akan roboh. Sedangkan sesuatu tanpa pemelihara akan lenyap.” Konsepsi ini menegaskan bahwa agama dan negara adalah dua hal tak terpisahkan. Nilai-nilai dasar agama dibutuhkan untuk membangun negara, sementara agama memperlukan “rumah” yang mampu merawat keberlangsungannya secara aman dan damai.
Kita bersyukur, bahwa dasar negara kita sejalan dengan substansi ajaran Islam. Tugas kita adalah menjaga dan merawat nasionalisme kebangsaan serta berikhtiar untuk bersatu menghadirkan kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya.
Dirgahayu Kemerdekaan RI
Ari Yusuf Amir