Oleh: Hasanuddin Wahid, Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa, Anggota Komisi X DPR-RI
HASIL penelitianBooking.comyang dirilis pertengahan tahun 2020 lalu mengungkapkan bahwa 72 persen wisatawan di dunia percaya bahwa sekarang warga dunia perlu mengambil tindakan dan membuat pilihan perjalanan wisata yang berkelanjutan untuk menyelamatkan planet bumi dan melestarikannya bagi generasi mendatang.
Data tersebut mencerminkan betapa semakin banyak wisatawan di dunia yang mengadopsi pola pikir bahwa pariwisata harus berlajan selaras dengan kelestarian lingkungan.
Tetapi penting untuk dicatat bahwa keberlanjutan tidak hanya tentang lingkungan. Ini juga berkaitan dengan dampak negatif pada budaya, ekonomi, dan orang-orang di destinasi yang dikunjungi wisawatan. Bahkan, konsep pariwisata berkelanjutan berkaitan pula dengan upaya melawan pandemi Covid-19.
Dampak lingkungan pertumbuhan pariwisata
Harus diakui bahwai pandemi Covid-19 telah membuat industri pariwisata kita melemah. Namun, sebelum pandemi industri pariwisata kita bertumbuh pesat. Sebab, rata-rata pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia (2014-2018) mencapai 14 persen per tahun.
Meski belum diteliti secara komprehensif, pembangunanpariwisita kita yang terpolarisasi dipastikan berdampak buruk pada lingkungan. Riset Colliers International Indonesia (2020) menunjukkan bahwapariwisata diBali menghadapi tantangan berat berkaitan dengan masalah lingkungan berupa limbah hotel dan restoran, sampah yang dibuang oleh para wisatawan, dan abrasi pantai (Kompas.com, 13/01/2020).
Dampak yang lebih fisikadalah degradasi dan hilangnya habitat satwa liar dan pemandangan, serta rusaknya ekosistem lokal yang disebabkan oleh pembukaan lahan hutan untuk pembangunan sarana dan prasarana pariwisata.
Lembaga advokasi ‘Sunspirit for Justice and Peace’ Labuan Bajo (2020) menyatakan betonisasi atas nama pembangunanpariwisata berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem dan punahnya binatang endemik Komodo. Sebab sejauh ini pemerintah telah memberi lahan seluas 151,94 ha kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) untuk Izin Pengusahaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA). Di atas lahan itu akan dibangun rest area seperti vila, restoran, unit penginapan staf dan jetty.
Di Pulau Rinca, tempat di mana satwa Komodo juga beranak pinak, pemerintah bahkan tengah membangun sarana-prasarana wisata alam dengan desain ala Jurassic Park. Pemerintah akan membangun infrastruktur seperti jalan elevated, pusat informasi, sentra suvenir, kafe, toilet publik, kantor pengelola kawasan, selfie spot, klinik, gudang, ruang terbuka publik, penginapan untuk peneliti dan pemandu wisata. Sumur bor akan dibangun sebagai bagian dari rencana ini.
Dari berbagai studi disebutkan bahwa pengembangan pariwisata berpotensi mengakibatkan hilangnya nilai estetika atau keindahan alam yang asri; pembentukan limbah; penggundulan hutan untuk membangun akomodasi atau – untuk memperoleh kayu bakar; pencemaran air dan udara; gangguan ekosistem, terganggunya pola perkembangbiakan hewan dan habitatnya; pengurukan pantai dan bukit pasir, pengrusakan terumbu karang. Bahkan, pembangunan pariwisata dapat menimbulkan perubahan lanskap, restrukturisasi lingkungan permanen, kepadatan populasi, dan konflik sosial atas penggunaan sumber daya.
Pembangunan pariwisata berkelanjutan
Meningkatnya dampak lingkungan negatif yang ditimbulkan oleh pertumbuhan pesat industri pariwisata, membuat masyarakat berteriakmeminta pemerintah dan para investor untuk menerapkan pendekatan pembangunan pariwisata secara berkelanjutan.
Melalui pendekatan tersebut industri pariwisata harus dikembangkan dan dikelola sembari menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan alam. Pembangunan pariwisata berkelanjutan sangat penting karena dapat mendukung konservasi kawasan alam dan satwa liar; mengevaluasi kembali nilai-nilai ekologis oleh penduduk dan otoritas lokal sebagai hasil dari kepentingan pariwisata; meningkatkan kesadaran akan lingkungan dan alam secara umum di kalangan wisatawan; merehabilitasi dan seringkali juga mentransformasi bangunan dan lokasi lama menjadi fasilitas baru; mengenali perencanaan dan manajemen agar industri pariwisata tidak terlalu merusak alam dibandingkan dengan sektor ekonomi alternatif seperti pertanian dan kehutanan.
Pariwisata berkelanjutan juga dimaksudkan untuk mendukung kelangsungan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. Selain itu, agar generasi masa depan bisa menikmati keindahan alam, dan warisan budaya serta sejarah.
Kita bersyukur bahwa belakangan ini pemerintah dan para investor berupaya mengintegrasikan kawasan alam yang dilindungi ke dalam desain dan program pembangunan pariwisata. Selain mencegah pengrusakan alam oleh pengembang pariwisata sendiri, hal ini dapat mencegah masyarakat lokal supaya tidak menggunakan sumber daya alam secara sembarangan.
Demi pariwisata yang keberlanjutan, pemerintah dan ivestor swasta terus berusaha untuk mengadopsi teknologi ramah lingkungan seperti teknologi untuk meminimalkan konsumsi air tanah, teknologi pengolahan limbah dan sampah, menggunakan bahan bangunan ekologis, memanfaatkan sistem energi sumber terbarukan (energi surya) di semua bangunan hotel dan fasilitas priwisata.
Kita berharap pemerintah dan pihak swasta pun tak abai memberi pencerahan dan pemberdayaankepada penduduk lokal sehingga mereka berpartisipasi dalam seluruh proses pengembangan dan pengelolaan pariwisata secara keberlanjutan. Pemerintah dan pihak ivestor juga perlu memastikan bahwa pengembangan industri pariwisata harus dapat diterima oleh dan disesuaikan dengan nilai-nilai kerarifan komunitas lokal.
Partisipasi masyarakat/komunitas lokal
Kita beruntung bahwa belakangan ini pemerintah gencar merangkul masyarakat supaya terlibat dalam program pengembangan pariwisata, terutama untuk mebangkitkan kembali parisiwisata pasca pandemic Covid-19.
Salah satu program yang terus digalakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekrarf) adalah program Wisata Desa. Hingga akhir 2020 telah ada 10 Desa Wisata yang disertifikasi. Tahun 2021 ini Kemenparekraf menargetkan 16 Desa Wisata lagi. Dan Sesuai RPJMN 2020-2024, Kemenparekraf menargetkan sebanyak 244 desa tersertifikasi sebagai desa wisata mandiri pada 2024.
Mostafa Rasoolimanesh dan Mastura Jaafar (2016) menyatakan sejatinya, terdapat tiga jenis partisipasi masyarakat dalam konteks pengembangan pariwisata berkelanjutan yaitu paritisipasi koersif, partispasi terinduksi dan partisipasi spontan
Partisipasi koersif mengacu pada tingkat partisipasi terendah di mana masyarakat tidak memiliki kekuasaan atas jalannya pengembangan pariwisata. Keterlibatan mereka terbatas pada berbagai kegiatan yang telah ditentukan seputar promosi destinasi pariwisata dan mereka menerima sedikit manfaat ekonomi.
Dalam partisipasi terinduksi, meskipun masyarakat lokal memiliki suara dalam proses pengembangan pariwisata, mereka tidak memiliki kekuatan atau kendali aktual atas keputusan yang dibuat oleh mereka yang memiliki otoritas. Sedangkan dalam partisipasi spontan, masyarakat lokal memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan dan mengontrol proses pembangunan.
Sementara itu Nagarjuna G. (2015:15) menyebutkan, parisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan pariwista dapat dinyatakan melalui lima cara seperti berikut. Pertama, apabila pariwisata dikelola oleh pihak swasta dan investor dari luar, maka komunitas kokal dapat berparitisipasi dalam bentuk penyediaan tenaga kerja, serta memasok barang dan jasa kebutuhan pariwisata. Contoh, masyarakat lokal dapat meyediakan staf dapur, menjual sayur-sayuran, buah-buahan, daging/ikan, dan material untuk pembangunan hotel, restoran dan lain-lain.
Kedua, apabila perusahaan atau usaha pariwisata dijalankan oleh pengusaha lokal maka komunitas lokal dapat berpartisipasi melalui strategi kewirausahaan dan menyelenggarakan pengadaan barang dan jasa. Contoh masyarakat lokal dapat mengelola lapak penjualan kerajinan/sovenir, kuliner, outlet perkemahan, dan layanan tambahan seperti tenaga pemandu wisata, penginapan di rumah, makanan, bahan bakar dan lain-lain.
Ketiga, apabila usaha pariwisata dijalankan melalui polacommunity enterprises, maka masyarakat dapat berparisipasi dengan cara menyewakan tanah untuk pariwisata, membuat perjanjian kemitraan dengan operator pariwisata. Selain itu warga masyarakat dapat berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan terkait dengan pariwisata, satwa liar, taman dan penggunaan lahan. Contoh, warga dapat menyediakan dan menyewakan situs perkemahan komunitas, menyediakan Pusat Seni dan Kerajinan,dan Pusat Budaya sebagai obyek wisata.
Keempat, apabila pariwisata dijalankan oleh usaha patungan antara komunitas dan sektor swasta maka partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui komitmen/kontrak kerja sama, bagi hasil/pendapatan, penyewaan sumber daya, dan ikut mengambilbagian dalam proses pengambilan keputusan. Contoh, pihak perusahaan berbagi pendapatan dan pengeluaran dengan komunitas lokal; warga lokal menyewakan sumber daya mereka berupa lahan dan rumah untuk penginapan; atau warga lokal ikut memiliki saham pada pondok penginapan yang dibangun pihakperusahaan swasta.
Kelima, apabila pariwisata dijalankan melalui badan perencanaan pariwisata, seperti Badan Pelaksana Otorita Pariwisata (BPOP), maka partisipasi warga komunitas dapat diwujdukan melalui konsultasi, parwakilan, dan partisipasi langsung. Misalnya, dengan menempatkan konsultan hukum di perencanaan pariwisata daerah, dan perwakilan masyarakat di dewan pengurus BPOP.
Jadi, untuk memajukan pariwisata berkelanjutan, kita perlu dorong dua hal berikut.Pertama, meningkatkan keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata.Masyarakat perlu dilibatkan untuk giat menyiapkan kuliner lokal, dan festival/aktraksi budaya. Sebab produk dan jasa wisata lokal dapat memberikan pengalaman otentik kepada para wisatawan.
Kedua, mendorong koordinasi dan kolaborasi positif antara pemerintah, pihak swasta dan masyarakat lokal.Sebab, dengan itu pariwisatabisa dikelola secara adil dan bertanggung jawab dengan dampak ligkungan yang minimal. Dengan begitu pariwisata dapat bertumbuh secara berkelanjutan dan dapat berkontribusi untuk menopang kehidupan sosial-ekonomi nasional, dan masyarakat lokal secara jangka panjang. ***