Membendung Tren Naik Harga Rumah di Indonesia
Oleh: Mubasyier Fatah
Koordinator Bidang Ekonomi Kreatif PP ISNU (Pengurus Pusat Ikatan Sarjana NU)
AWAL Oktober 2023 ini, 99 Group, sebuah perusahaan teknologi real estate terkemuka yang mengoperasikan portal real estate di seluruh Asia Tenggara dan mengkhususkan diri dalam periklanan properti digital, merilis sebuah laporan studi yang menarik.
Lembaga yang berkantor pusat di Singapura itu mengungkapkan bahwa tren harga tahunan rumah di sejumlah kota di Indonesia meningkat sebesar 2,5 persen dibandingkan dengan kondisi pada September 2022 lalu.
Bahkan, ungkap 99 Group pula, harga rumah di Kota Medan, Sumatera Utara mengalami kenaikan tertinggi yaitu sebesar 8,8 persen, disusul 5,7 persen di Kota Denpasar, Bali, dan 5,3 persen di Kota Bekasi, Jawa Barat.
Sejatinya, mahalnya harga rumah di kota-kota besar di Indonesia, bukan berita baru. Pertanyaan yang muncul, mengapa harga rumah di Indonesia terus melambung dari waktu ke waktu?
Jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks. Namun, merujuk ke penelitian yang dilakukan Girouard dkk. (2006) diketahui ada tiga kelompok faktor utama yang dapat mempengaruhi pergerakan harga rumah yaitu ekonomi, demografi, dan kelembagaan.
Faktor ekonomi: permintaan tinggi, tapi pasokan terbatas
Dari perspektif hukum ekonomi, tingginya harga rumah dipicu oleh jumlah persediaan rumah yang lebih kecil dengan jumlah permintaan atau kebutuhan akan rumah yang lebih besar.
Angka kekurangan rumah yang dihitung berdasarkan selisih jumlah kepala keluarga dengan jumlah rumah yang ada disebut angka backlog.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) menyebutkan saat ini angka backlog di Indonesia masih sangat tinggi yaitu mencapai 12,7 juta, terdiri atas 10 juta di perkotaan dan 2,7 juta di pedesaan.
KemenPUPR mengakui bahwa angka backlog tersebut tidak banyak berubah dalam satu dekade terakhir, hanya mengalami penurunan tipis dibandingkan tahun 2010 yang tercatat sebesar 13,5 juta unit. Pemerintah menargetkan dapat mengurangi backlog kepemilikan rumah menjadi 8 juta pada tahun 2045 nanti.
Selain karena selisih yang tak berimbang antara jumlah permintaan dan persediaan rumah, harga rumah tempat tinggal diitentukan oleh beberapa hal lain seperti pendapatan warga masyarakat, harga barang substitusi (dalam hal ini harga apartemen), ekspektasi masyarakat tentang harga rumah di masa depan dan suku bunga hipotek.
Beberapa waktu lalu Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengingatkan bahwa ke depan warga masyarakat akan semakin sulit membeli rumah karena harga jual rumah tapak dan apartemen tidak sebanding dengan kenaikan gaji.
Faktor yang juga menjadi pemicu kenaikan harga rumah adalah lonjakan inflasi yang relatif tinggi. Data Bank Indonesia menyebutkan pada tahun 2018 hingga 2022, tingkat inflasi rata-rata mencapai 4,2 persen. Meski tergolong tinggi, Bank Indonesia meyakini inflasi akan tetap terkendali dalam kisaran sasarannya sebesar 3,0 ± 1% pada sisa tahun 2023 dan 2,5% ± 1% pada tahun 2024.
Menurut Menkeu Sri Mulyani, peningkatan inflasi biasanya akan mendorong Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuannya. Ketika Bank Indonesia melakukan hal tersebut, otomatis suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pun meningkat.
Faktor migrasi: penduduk beralih dari desa ke kota
Hasil studi yang dilakukan Farida Nurkhayati dan Ardyanto Fitrady dari Departemen Ekonomi, Universitas Gadjah Mada (27 Februari 2023) menyebutkan bahwa dii tingkat nasional, migrasi antar daerah mempunyai dampak yang signifikan dan positif terhadap harga rumah di perkotaan.
Berdasarkan data terkini Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di Indonesia hingga pada pertengahan tahun 2023 mencapai 278,69 juta jiwa. Sementara itu, pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia mencapai akan 1 persen per tahun. Hingga tahun 2023 ini sekitar 51 hingga 52 persen penduduk Indonesis tinggal di daerah perkotaan.
Studi Farida Nurkhayati dan Ardyanto Fitrady menemukakan bahwa migrasi penduduk dari desa ke kota menyebabkan peningkatan kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal di wilayah migrasi yaitu kota.
Harga rumah diproyeksikan akan terus meningkat karena kebutuhan akan perumahan terus bertambaha besar sedangkan ketersediaan lahan tidak bertambah.
Faktor kelembagaan: birokrasi perizinan yang rumit dan mahal
Kelembagaan, khususnya pemerintah daerah, adalah faktor lain yang berpengaruh pada lonjakan harga rumah di Indonesia.
Satu hal yang tak dipungkiri bahwa pemerintah daerah di Indonesia tak kuasa mengendalikan fenomena melemahnya daya beli warga masyarakat, dan tingginya suku bunga KPR.
Selain itu, banyak pemerintah daerah di Indonesia memiliki birokrasi belum efektif sehingga proses pengadaan tanah dan perizinan pembangunan rumah memakan waktu lama.
Proses pengadaan tanah ataupun pembebasan lahan dan perizinan pembangunan tak jarang membuat belanja modal yang dikeluarkan pengembang meningkat.
Belanja modal yang besar yang dikeluarkan oleh pengembang pada akhirnya ditanggung oleh masyarakat yang ingin membeli rumah.
Bagi pengembang rumah mewah, ada kewajiban tambahan pula. Setelah mendapat izin lokasi, mereka diwajibkan melakukan pembangunan rumah susun murah beserta fasilitasnya seluas 20 persen dari luas areal komersial pada saat pengurusan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang (IPPR). Biaya transaksi dalam jumlah besar seperti itu, pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen.
Sebetulnya, pemerintah telah berupaya membenahi birokrasi dan hukum perizinan untuk menghemat waktu dan biaya pembangunan rumah, terutama pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Sebagai misal, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016, pemerintah bermaksud menyederhanakan proses perizinan terkait penyediaan perumahan yang berbelit dan memakan waktu lama.
Selanjutnya, melalui Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XIII tentang Perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), pemerintah memangkas waktu perizinan pembangunan perumahan dari semula rata-rata 900 hari menjadi hanya 40 hari.
Pengurangan, penggabungan, dan percepatan proses perizinan pembangunan rumah MBR dapat menekan biaya pengurusan izin pembangunan rumah hingga 70 persen.
Pembenahan birokrasi perizinan pembangunan rumah kemudian mendapat penekanan melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 17 Tahun 2019 tentang Izin Lokasi dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 020 tentang Cipta Kerja serta enam Peraturan Pemerintah dan satu Perpres terkait tugas dan fungsi Kementerian PUPR..
Namun, pada tataran penerapan, hal tersebut belum berjalan secara optimal. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi sinyal masih ada potensi suap dan pungli terkait proses perizinan hingga pembangunan perumahan (Bdk. www.kpk.go.id, edisi 4 Oktober 2023).
Apakah harga rumah bisa ditekan?
Pertanyaannya kemudian, mungkinkah harga jual rumah di Indonesia bisa ditekan sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat konsumen?
Jawabannya, tentu saja mungkin! Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah harga rumah yang cenderung meningkat.
Pertama, pemerintah perlu memfokuskan pembangunan di pedesaan, untuk mencegah arus migrasi yang makin deras ke kota. Hal ini dapat menekan harga rumah, karena harga tanah dan bahan baku untuk pembangunan di desa umumnya lebih murah.
Kedua, pemerintah perlu terus mengendalikan tingkat inflasi, sambil terus memacu aktivitas ekonomi rakyat melalui pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan penghasilan yang makin tinggi maka warga masyarakat memiliki daya beli lebih baik untuk membeli rumah.
Ketiga, secara kelembagaan, pemerintah, khususnya di tingkat daerah perlu lebih serius melakukan pembenahan birokrasi, dan menegakkan hukum yang mengatur penyederhaaan proses perijinan pembangunan perumahan.
Apabila ketiga hal itu diterapkan secara benar, maka tidak mustahil harga rumah dapat ditekan dan dapat pula dijangkau oleh masyarakat konsumen. ***