✅Pertanyaan:
Jika ada orang yang mempertemukan antara investor dengan pengusaha property, hingga terjadilah ikatan bisnis diantara mereka, apakah orang ini berhak meminta fee.
Dia hanya mempertemukan, selanjutnya kesepakatan kembali k mereka berdua.. mohon penjelasan.
✅ Jawab:
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah).
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Untuk beberapa hal yang tidak dirinci aturannya dalam syariat, dikembalikan kepada kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
Terdapat kaidah yang menyatakan,
استعمال الناس حجة يجب العمل بها
“Standar kesepakatan di masyarakat, bisa menjadi acuan yang wajib diamalkan”
Yang dimaksud standar kesepakatan di atas adalah standar kesepakatan yang tidak melanggar aturan syariat. Jika standar ini melanggar aturan syariat, tentu saja tidak boleh digunakan.
Dr. Muhammad Sidqi al-Burnu menjelaskan cakupan kaidah ini,
إن عادة الناس، إذا لم تكن مخالفة للشرع، حجة ودليل يجب العمل بموجبها، لأن العادة محكَّمة
“Sesungguhnya kebiasaan masyarakat, selama tidak melanggar syariat, bisa jadi acuan hukum yang wajib dijalankan kosekuensinya. Karena kebiasaan bisa menjadi hakim.”
Kemudian beliau memberikan contoh penerapan,
إذا استعان شخص بآخر على شراء عقار، وبعد وقوع البيع والشراء طلب المستعان به من المستعين أجرة، فينظر تعامل أهل السوق، فإن كان معتاداً في مثل هذه الحال أخذ أجرة كصاحب مكتب عقاري، فللمستعان به أخذ الأجرة المثلية من المستعين وإلا فلا.
Jika si A meminta tolong si B untuk mencarikan tanah yang mau dia beli. kemudian setelah transaksi dilakukan, si B meminta upah kepada si A.
Dalam hal ini perlu memperhatikan tradisi di pasar, jika semacam ini sudah menjadi kebiasaan mereka, maka si B berhak mendapat upah.
Seperti kantor bank properti atau bank tanah. Sehingga dalam hal ini si B boleh mengambil upah standar dari si A. Jika tidak ada kebiasaan ini, tidak berhak meminta upah. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 294).
Termasuk juga untuk kasus mempertemukan antara investor dengan pengusaha. Hingga terjadilah akad mudharabah atau musyarakah.
Apakah sebatas mempertamukan, tanpa memberikan pendampingan atau upaya apapun, berhak untuk mendapat upah?
Semua ini kembali ke kebiasaan yang ada di masyarakat. Jika menurut masyarakat, sebatas mempertemukan tidak harus ada upah, maka boleh tidak diberi upah.
Lain halnya jika ada upaya pendampingan, penjaminan kepercayaan, membantu administrasi, dst, dia berhak dapat upah.
Demikian, Allahu a’lam