Setiap Cobaan Datang Sebuah Proses Pendewasaan Diri |

“New Normal”

“New Normal”

Oleh: Smith Alhadar

Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

 

Celaka kita. Sungguh kita celaka! Indonesia blm pernah mengalami kemerosotan pikiran dan akhlak seperti sekarang.

Memang sejak Jokowi menjadi presiden, kita memasuki era baru atau “New Normal.”

“New Normal adalah cara berpikir baru, bertingkah laku baru, dgn standar nilai baru.”

Tapi New Normal bukan hasil dialektika pikiran2 besar, tetapi dpt diibaratkan  peradaban para dukun, yg kelangsungan hidupnya bergantung pd efektivitas ilmu hitam yg digunakan.

Anehnya, pendukung Jokowi menyambut era ini dgn rasa syukur dan puji2an yg melimpah.

Kegelapan pun menyelimuti bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Layaknya jaman kegelapan bgs Eropa pada abad pertengahan masa lalu.

Infrastruktur sosial-budaya ini pd akhirnya memungkinkan anomali2 pikiran presiden, yg kini telah bertransformasi dari tukang mebel menjadi raja dukun, dirujuk sebegai kebenaran.

Malah dipuja-puji !

Sebaliknya sabda Nabi, kearifan leluhur, filosof, dan cendekiawan menghilang dgn cepat._

Bukan cuma itu ! Kecerdasan bangsa pun luruh.

Berdasarkan laporan World Population Review thn 2022, di antara 11 anggota ASEAN, IQ orang Indonesia menduduki peringkat terbawah bersama Timor Leste.

IQ digunakan untuk mengukur kecerdasan manusia, mencakup berbagai kemampuan mental seseorg.

“New Normal” diperlihatkan oleh fakta berikut.

Menurut Kementerian PAN yg telah ditinjau Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, hampir separuh indikator kinerja pemerintak tak tercapai._

Namun anehnya, tingkat kepuasaan publik terhadap kinerja pemerintah, menurut hasil survey Litbang Kompas, mencapai 74%.

Saya heran kalau Anda tdk heran melihat realitas ini. Lagi2 “New Normal”

Fakta-fakta di atas menunjukkan pembodohan bangsa berlngsung secara massif.

Artinya, “New Normal” bekerja efektif. Ini krn para akademisi pro-Jokowi merasionalisasikan nyaris semua kebijakan pmerintah.

Lalu, diamplifikasi buzzerRp  yg dibayar menggunakan uang rakyat.

Alhasil, mantra2 (pencitraan) Jokowi untuk meneguhkan kekuasaannya. Misalnya, dgn melempar sembako dari balik jendela mobil kpd kaum papa  yg spt itu dinilai sbg akal budi baru dari presiden yg “pandai” dan “dermawan.”

Itu sebabnya, kendati gagal menyejahterakan rakyat, keinginan Jokowi mencengkram kekuasaan selama mungkin atau melahirkan presiden baru yg akan melanjutkan kerusakan yg telah terjdi, diterima pendukungnya.

Bahkan para pemimpin parpol yg seharusnya pandai menerima sbg bentuk kearifanbaru “demi rakyat, bangsa, dan negara”.

AMBOI !

Pada 3 April lalu, dlm rapat kerja dgn Komisi XI DPR untuk mmbahas evaluasi paruh wkt hasil Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyampaikan bhw selama 12 thn ekonomi RI hanya tumbuh 4,71%. Bhkan, dlm 7 thn terakhir hanya 4,01%.

Capaian itu tentu tdk cukup untuk keluar dari *”middle income trap.”

Syarat untuk lolos dari jebakan itu adalah pertumbuhan 6%. Hal tsb ditanggapi anggota Komisi XI Gus Irawan Pasaribu yg mempertanyakan hasil prtumbuhan tsb dgn fakta lonjakan utang RI yg sgt tinggi di era Jokowi. Dus, sebenarnya  selama pemerintahan Jokowi, yg terjadi adalah proses pemiskinan bangsa.

Padahal, dulu dia berjanji pertumbuhan ekonomi di bawah pemerintahannya akan tumbuh 7%, tdk akan berutang, dan menghentikan impor pangan.

Faktanya, pemerintah segera mengimpor dua juta ton beras di tengah panen raya. Pdhal, menurut Badan Pusat Statistik, thn 2022 kita mengalami surplus produksi beras 1,8 juta ton.

Jika diakumulasi dgn sisa surplus thn lalu sebesar 3,9 ton, maka thn ini trjd surplus 5,7 juta ton.

Lalu, mengapa mengimpor dilakukan ? Jokowi beralasan untuk mengantisipasi datangnya elnino.

Tetapi bagi saya, tujuannya adalah mengantisipasi gejolak sosial-politik bila  perpanjangan masa jabatan presiden atau rekayasa pilpres dilakukan.

Kalau demikian, rakyat dpt/akan dibujuk dgn kelimpahan beras di pasar. Beras memang komoditas politik yg strategis.

Dulu, yg mempercepat kejatuhan Soeharto, adalah terjadi kelangkaan beras di pasar.

 

Nampaknya, Jokowi belajar dr pengalaman Soeharto untuk tdk jatuh dan diadili.

Sementara itu, kebijakan yg menganiaya rakyat dpt dilihat pd postur APBN 2023.

Pengamat sosial ekonomi berpendapat, postur APBN ini merugikan rakyat jelata krn nampak ada keberpihakan yg mencolok pd para pengusaha.

Pemerintah menggenjot pajak pada rakyat untuk menambal defisit, sementara pengusaha diberikan fasilitas pajak ekspor dan impor.

Dus, APBN kian ugal-ugalan: melegitimasi perampokan uang rakyat oleh pengusaha.

“New Normal” memang kreasi tdk langsung dari *”oligarki” melalui pemimpin jahil yg tak punya empati pd rakyat.

Jokowi merayakan pernikahan puteranya secara mewah dan riuh, yg diniatkan menyerupai pesta pernikahan pangeran Inggris, di tengah kemiskinan rakyat yg meluas.

Seperti itu juga _”New Normal”_, yg menampilkan kembali ethos raja-raja Jawa zaman dulu. Padahal, Jokowi dipilih karena ia dianggap berjiwa kerakyatan.

Ah…. sudahlah, sebagian besar cerdik pandai kita juga bersalah atas keterpilihannya menjadi presiden.

Tapi yg membuat kita makin terkejut, pemimpin bedebah mampu menciptakan manusia2 baru yg aneh, yg siap menjalankan skenarionya yg juga aneh.

Misalnya, Ketua KPK Firli Bahuri. Kelakuannya sedemikian aneh sehingga kita hampir2 tak mengenal dia sbg jendral polisi bintang tiga, yg tugas pokoknya menertibkan negara dan masyarakat melalui penegakan hukum. Artinya, dia penegak norma, moral, dan aturan main di msyarakat.

Nyatanya, dia sgt bersemangat menjerat seorang bakal capres sbg tersangka kasus korupsi tanpa bukti. Ini juga “New Normal” di mana norma, adab, dan aturan yg dibuat negara boleh diabaikan.

Mengerikan !

Mungkinkah bangsa yg tak lagi berpegang pd rule of law bisa mencapai tujuannya ?

Mestinya saya tak mengajukan pertanyaan ini, toh manusia2 baru tak punya lagi nurani dan kuping untuk mendengar.

Belum lagi habis keheranan kita pd kelakuan Firli Bahuri, muncul Moeldoko yg lebih aneh lagi. Dia, yg tak punya urusan dgn Partai Demokrat, tiba2 muncul dari lorong gelap untuk memperkarakan keabsahan pengurus Partai Demokrat yg diakui Kemenhukam sbg parpol yg sah.

Aneh tapi nyata !

Terlebih, PK  ( Peninjauan Kembali ) yg diajukan ke MA telah dikalahkan 16 kali.

Kalau nanti MA mengabulkan PK-nya, maka itu hanya menegaskan eksistensi “New Normal” telah terjd di seluruh lini negara.

Kepala Staf Presiden Moeldoko, jendral bintang 4 yg mestinya cerdas dan sportif. Namun dengan bersedia menjalankan perintah pemimpin bedebah yg tujuan utamanya sama dgn Firli Bahuri : menjegal Bacapres yg dipandang akan mengembalikan moral dan akal sehat msyarakat yg telah mereka/ rezim hancurkan.

Muldoko jendral bintang 4 yg cerdas dan sportif tentunya tdk mau spt Filri Bahuri. Yang demikian ini bertentangan dgn _”New Normal”_.

New Normal adalah penjungkir balikan logika.

Persetan dgn tatanan konstitusialisme. “New Normal” Era baru bertumpu pada logika oligarki bhw kesuksesan pemerintah diukur dari seberapa besar oligarki diuntungkan, bukan pada seberapa besar rakyat dibebaskan dari kemiskinan. Itulah hakekat “New Normal”

Mahasiswa juga bertransformasi menjadi manusia2 baru.

Di tengah upaya Jokowi menunda pemilu, juga usaha Firli dan Moeldoko merusak demokrasi dan pilpres, mahasiswa justru berunjuk rasa terkait UU Cipta Kerja.

Bukannya tdk penting menolak UU yg melayani kepentingan oligarki itu.

Tapi memprotes Jokowi, Firli, dan Moeldoko jauh lebih penting dalam konteks kebangsaan dan demokrasi yg dulu diperjuangkan founding father dan senior mereka dgn darah dan air mata.

Keganjilan lain, salah satu Menkeu terbaik di dunia, mengaku tidak tau terjadinya transaksi mencurigakan Rp 349 T di kementerian yg dipimpinnya, yg telah berlangsung 14 thn. Sebagiannya, Rp 35 T, berupa korupsi. Meskipun demikian, pemimpin bedebah tak marah padanya.

Ia menyuruh pembantunya yg lain Mahfud MD Menko Polhukam untuk membuka aib menteri kepercayaannya itu.

Tujuannya mengangkat kembali indeks korupsi Indonesia yg melorot. Mestinya presiden yg tampil gagah untuk brtanggung jawab. Tapi memang “New Normal” mencakup juga pelemparan tanggung jawab pemimpin kepada anak buahnya secara licik.

Tapi keanehan tdk sampai di situ. Kita terkejut ketika DPR malah menyalahkan Mahfud MD dan PPATK krn membongkar mega skandal  yg merugikan rakyat itu. Lebih jauh, mereka menolak RUU perampasan harta koruptor.

Alhasil, anomali2 bermunculan dari tempat2 tak terduga. Sekonyong-konyong Jokowi membentuk koalisi besar sambil mengentut PDI-P yg nota bene partainya sendiri, yg berperan  membesarkan namanya. Lalu, para pemimpin parpol yg tergabung dlm koalisi besar bersyukur dan memuji inisiatif Jokowi sbg inovasi politik luar biasa, yg seolah tak mampu mereka pikirkan.

Ini aneh tapi nyata.  Ibarat nya orang bodoh diantara orang2 dungu.

 

Padahal, itu pikiran sederhana dan koalisi itu berpotensi pecah ketika hrs menetapkan pas bacapres dan bacawapres. Tp begitulah cara berpikir era baru…lagi2 “New Normal”

Tdk perlu mengandalkan pikiran dan gagasan sbg alat tawar dlm membangun koalisi. Cukup dgn hanya mengandalkan arahan pemimpin bebal. Mestinya kita menangis menyaksikan para badut politik ini menertawai diri mereka sendiri.

“New Normal” akan berlangsung lebih lama dari pada pandemi covid-19, juga dgn daya rusak yg lbh besar. Covid-19 hanya menyakiti atau mematikan sebagian “kecil” orang. Sebaliknya, “New Normal” yg dilahirkan ignorance, syahwat kekuasaan, dan kerakusan oligarki, membawa kerusakan lahir-batin bangsa yg penyembuhannya akan berlangsung lama.

Itu pun kl presiden berikut adalah figur yg cerdas, visioner, dan berintegritas, untuk memulihkan akal sehat bangsa dan mengembalikannya pd rel cita2 yg menjadi alasan perjuangan kita membebaskan diri dari belenggu penjajah. Belenggu sekarang adalah “New Normal” yg lahir dari pikiran picik dan niat yg curang.

 

Tangsel, 10 April 2023

Share Article:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Notice: Undefined property: stdClass::$data in /home/fakt6635/public_html/wp-content/plugins/royal-elementor-addons/modules/instagram-feed/widgets/wpr-instagram-feed.php on line 4894

Warning: Invalid argument supplied for foreach() in /home/fakt6635/public_html/wp-content/plugins/royal-elementor-addons/modules/instagram-feed/widgets/wpr-instagram-feed.php on line 5567

Berita Terbaru

  • All Post
  • Autotekno
  • Beauty
  • Berita
  • Dunia
  • Ekonomi & Bisnis
  • Foto
  • Gaya Hidup
  • ILD
  • Konsultasi
  • Lifestyle
  • Nasional
  • Olahraga
  • Opini
  • Photography
  • Redaksi
  • Sosok
  • Travel
  • Uncatagories
  • Warna
    •   Back
    • Politik
    • Hukum
    • Daerah
    • Pendidikan
    • Wawancara
    •   Back
    • Peluang Usaha
    • Entrepreneur
    •   Back
    • Fashion
    • Kesehatan
    • Travelling & Kuliner
    •   Back
    • Motivasi
    • Inspirasi
    • Training & Seminar
    • Info Warga
    • Komunitas

FAKTAREVIEW

Mengulas Fakta Dibalik Berita

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template

faktareview

Mengulas Fakta Dibalik Berita

Semoga konten-konten faktareview.com yag hadirkan bisa dinikmati, bisa memenuhi kebutuhan informasi serta bisa ikut membangun kesadaran masyarakat  menuju masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.

Terimakasih Telah Berkunjung