Setiap Cobaan Datang Sebuah Proses Pendewasaan Diri |

Pengaruh Ketentuan Parliamenttary Threshold System terhadap Jalannya Fungsi Rekrutmen Partai Politik di Indonesia

Pengaruh Ketentuan Parliamenttary Threshold System terhadap Jalannya Fungsi Rekrutmen Partai Politik di Indonesia

 

Pendahuluan

Secara prosedural, demokrasi dianggap terlaksana ketika telah dilakukan pemilihan umum di sebuah negara dalam rangka memilih pemimpinnya secara demokratis dan selaras dengan asasnya. Kendati demikian, pada hakikatnya demokrasi memiliki kompleksitas tersendiri dalam implementasinya termasuk bagaimana keefektifannya dalam pemilihan umum, sehingga peran dari partai politik selaku peserta pemilu akan selalu dibutuhkan.  Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 13, terdapat salah satu fungsi partai politik yang berkelindan dengan pemilihan umum, yakni meliputi, sarana penyelenggara pendidikan politik dan menyalurkan/menyalurkan aspirasi politik, serta ikut serta dalam kontestasi pemilihan umum dengan mengusung kadernya (Cangara, 2009: 215). Terdapat relevansi kuat antara partai politik dan pemilihan umum bagi negara yang bersistem demokrasi, partai politik menjadi sebuah sarana penting demokrasi sebagai penghubung rakyat dan pemerintah, pemilihan umum lah yang menjadi arenanya.

Mengamati jumlah rakyat yang cukup banyak dan berkembang pesat, tidak memungkinkan setiap peran pengambilan kebijakan dapat dilakukan oleh segenap rakyat.  Sehingga dalam hal ini, diusung sistem demokrasi dan sistem presidensial yang dianut Indonesia di awal kemerdekaan dengan puncaknya yakni kelahiran sistem multipartai melalui keluarnya Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta No. X/1949 sebagai pilar awal mula dilaksanakan sistem multipartai di Indonesia. Hal ini kemudian semakin ditunjukan secara luar biasa pada Pemilu Tahun 1999 dimana terdapat perubahan sistem kepartaian, yakni multipartai sederhana menjadi multipartai ekstrim hingga memunculkan kurang lebih 181 partai politik. Pemilu tahun 1999 diikuti 141 partai politik yang mendaftar dan 48 partai politik yang berhasil lolos verifikasi dengan menghasilkan 21 partai politik yang memperoleh kursi di DPR. Namun, dalam hal ini tidak ada satupun partai yang meraih suara mayoritas sederhana (50% + 1).

Berkaca dari Pemilu 1999 diatas, dapat ditelusuri bahwasanya tidak ada partai yang dominan dengan membawa sebuah kepentingan dalam pembuatan kebijakan yang terjadi. Bahkan, dengan banyaknya persebaran suara di parlemen tentunya mengakibatkan tidak ada partai yang dominan yang dianggap cukup mumpuni untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Lebih jauh daripada itu, hal ini juga menyebabkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan terombang-ambing dalam mengambil kebijakan. Dalam hal ini, parliamentary threshold (PT) hadir sebagai regulasi mengenai ambang batas parlemen untuk mengurangi jumlah partai politik di parlemen dalam rangka menyederhanakan sistem kepartaian. Regulasi ini mulai diterapkan pada Pemilu Tahun 2009 dan telah berhasil mengurangi jumlah partai yang berhasil bergabung ke parlemen, serta ambang batas yang ditetapkan pun meningkat di Pemilu Tahun 2014 karena ketentuan parliamentary threshold ini diadopsi kembali sebagaimana tercantum dalam Pasal 208 UU 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Regulasi yang diterapkan pasca berlakunya UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD ini kemudian menjadi perdebatan di berbagai pihak dan ahli. Terlebih lagi, pada Pemilu 2019 silam, aturan terbaru mengenai parliamentary threshold kembali diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu, detailnya dalam Pasal 414 ayat (1) yang mengatur ketentuan parliamentary threshold menjadi 4% (empat perseratus) baik untuk di DPR maupun DPRD. Regulasi ini memang merampingkan kekuatan dan pengaruh partai politik di parlemen, namun, lebih lanjut lagi, tentunya ketentuan ini memunculkan pertanyaan apakah terdapat dampak yang diberikan khususnya kala berbicara mengenai jalannya fungsi partai politik di Indonesia sebagai sarana rekrutmen politik.  Melihat posisi krusial partai dalam pemilu serta pembatasan jumlah suara yang diterapkan UU agar partai dapat duduk di senayan, apakah partai akan melakukan rekrutmen yang lebih masif agar jumlah suara yang diperoleh dapat mencapai ambang batas parlemen? Lantas apakah ini kemudian akan berdampak pada tujuan dan fungsi awal partai politik itu sendiri?

Sistem Multi Partai dan Awal Mula Penerapan Parliamentary Threshold System di Indonesia.

Berkaca dari Pemilu 1999 diatas, dapat ditelusuri bahwasanya tidak ada partai yang dominan dengan membawa sebuah kepentingan dalam pembuatan kebijakan yang terjadi. Bahkan, dengan banyaknya persebaran suara di parlemen tentunya mengakibatkan tidak ada partai yang dominan yang dianggap cukup mumpuni untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Lebih jauh daripada itu, hal ini juga menyebabkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan terombang-ambing dalam mengambil kebijakan. Dalam hal ini, parliamentary threshold (PT) hadir sebagai regulasi mengenai ambang batas parlemen untuk mengurangi jumlah partai politik di parlemen dalam rangka menyederhanakan sistem kepartaian. Regulasi ini mulai diterapkan pada Pemilu Tahun 2009 dan telah berhasil mengurangi jumlah partai yang berhasil bergabung ke parlemen, serta ambang batas yang ditetapkan pun meningkat di Pemilu Tahun 2014 karena ketentuan parliamentary threshold ini diadopsi kembali sebagaimana tercantum dalam Pasal 208 UU 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Regulasi yang diterapkan pasca berlakunya UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD ini kemudian menjadi perdebatan di berbagai pihak dan ahli. Terlebih lagi, pada Pemilu 2019 silam, aturan terbaru mengenai parliamentary threshold kembali diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu, detailnya dalam Pasal 414 ayat (1) yang mengatur ketentuan parliamentary threshold menjadi 4% (empat perseratus) baik untuk di DPR maupun DPRD. Regulasi ini memang merampingkan kekuatan dan pengaruh partai politik di parlemen, namun, lebih lanjut lagi, tentunya ketentuan ini memunculkan pertanyaan apakah terdapat dampak yang diberikan khususnya kala berbicara mengenai jalannya fungsi partai politik di Indonesia sebagai sarana rekrutmen politik.  Melihat posisi krusial partai dalam pemilu serta pembatasan jumlah suara yang diterapkan UU agar partai dapat duduk di senayan, apakah partai akan melakukan rekrutmen yang lebih masif agar jumlah suara yang diperoleh dapat mencapai ambang batas parlemen? Lantas apakah ini kemudian akan berdampak pada tujuan dan fungsi awal partai politik itu sendiri?.

Sistem Multi Partai dan Awal Mula Penerapan Parliamentary Threshold System di Indonesia

Dalam demokrasi, penting untuk memiliki sistem kepartaian sebagai elemen yang berinteraksi satu sama lain yang sesuai untuk memastikan pelaksanaan proses demokratisasi berjalan dengan baik. Duverger (1954) menjelaskan bahwa sistem kepartaian dapat terdiri dari tiga jenis, yaitu sistem satu partai yang mengizinkan satu partai politik memegang kekuasaan yang efektif secara hukum, sistem dua partai dengan dua partai politik yang dominan sehingga partai lain hampir tidak mungkin untuk memenangkan pemilihan, dan sistem multipartai dengan lebih dari dua partai politik yang diwakili dan dipilih untuk jabatan publik. Selaras dengan Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta No X/1949 penerapan sistem multipartai telah menjadi esensi bagi proses demokratisasi di Indonesia. Hal ini menyumbang dampak yang umumnya dialami negara penganut sistem multipartai, yakni berpotensi mengakibatkan tingkat kestabilan politik yang rendah karena terlalu banyak partai politik yang hadir dengan berbagai tujuan dan kepentingan yang diusung.

Berdasarkan hal di atas, kemudian diterapkan regulasi yang efektif dijalankan di Indonesia pada Pemilu Tahun 2009, sebagai respon atas ketidakefektifan sistem yang berlaku sebelumnya yakni, Electoral Threshold. Threshold atau ambang batas dapat diartikan sebagai batas minimal dukungan suara yang harus dicapai agar dapat memperoleh hak tertentu dalam pemilu. Sistem threshold diterapkan dengan tujuan untuk mengurangi jumlah peserta pemilu, partai politik yang terwakili di lembaga perwakilan, serta partai politik atau koalisi partai politik dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Dengan kata lain, fungsi dan manfaat penerapan sistem threshold adalah untuk mengurangi kompleksitas dalam sistem politik. Di Indonesia, pada Pemilu 1999, electoral threshold diterapkan bagi partai-partai yang mengikuti pemilihan melalui Pasal 39 ayat (3) UU 3/1999, yang kemudian diadopsi kembali dalam Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Sistem electoral threshold nyatanya dianggap tidak bisa berjalan efektif untuk mengikis jumlah partai politik yang ada di parlemen. Setelah diberlakukannya UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, ketentuan mengenai electoral threshold tidak lagi digunakan. Kemudian diterapkanlah sistem parliamentary threshold yang bertujuan untuk mengurangi partai politik aktif di parlemen dengan penentuan batas minimal suara yang harus diperoleh dari seluruh suara nasional yang sah, yang kemudian menentukan apakah terdapat kursi tersedia yang dapat diduduki di parlemen atau tidak. Parliamentary threshold berbeda dengan sistem electoral threshold yang berkenaan pada pembatasan jumlah electoral yang bisa bergabung pada pemilu berikutnya. Namun juga, parliamentary threshold acapkali dianggap sebagai hambatan bagi partai politik kecil untuk masuk ke parlemen.

 

Sistem parliamentary threshold yang diterapkan di Indonesia pada dasarnya masih dalam tahap eksperimental, sehingga dampak-dampak penerapannya pun masih menjadi dinilai debatable dan kerap menuai pro kontra bagi setiap peserta pemilu, berbagai pihak, dan juga para ahli.  Regulasi mengenai urgensi parliamentary threshold ini terus menerus ditetapkan dengan persentase yang meningkat di setiap pemilunya. Seperti yang terjadi pada pemilu tahun 2014 dimana ambang batas parlemen mengalami kenaikan menjadi 3,5% karena hal ini tertuang dalam pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menyebutkan bahwa:

“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.” (PURNAMA, 2021).

Pengaruh Parliamentary Threshold System terhadap Implementasi Fungsi Rekrutmen Partai Politik.

Sistem ambang batas parlemen yang telah dicantumkan dalam konstitusi dan yang telah menjadi ketentuan setiap akan melaksanakan pemilu tersebut kemudian mengantarkan kita kepada dampak-dampak yang diperoleh. Efektivitas tentu saja hadir menyertai melalui adanya penyederhanaan sistem multipartai yang dianut Indonesia, sehingga jumlah kekuatan partai yang ada di parlemen dikikis. Hal ini dengan demikian membantu menyeimbangkan kekuatan politik yang hadir dan mengurangi kemungkinan ketidakstabilan politik yang terjadi di parlemen. Namun di sisi lain, dampak negatif juga turut menyertai lewat kekurangan-kekurangan dari sistem yang masih dalam bentuk eksperimen ini, salah satunya ialah penerapan sistem ini semakin memperkuat dominasi kepentingan yang berusaha dipertahankan oleh masing-masing partai pengusung. Sistem ini juga dianggap turut melemahkan keberagaman politik yang ada di tengah pluralisme Bangsa Indonesia.

Selaras dengan hal di atas, berkenaan dengan fungsi rekrutmen pada partai politik peran untuk mencari orang-orang untuk turun langsung ke ranah politik diperkirakan akan semakin masif dalam penerapannya melalui upaya partai politik yang lebih keras dalam memperkuat basis massa. Namun, dalam hal yang berkaitan dengan fokus utama partai politik dalam melakukan pemenuhan suara melalui jalan rekrutmen politik, begitu mungkin dapat terjadi penurunan standarisasi yang diterapkan oleh partai politik itu sendiri.  Entah berkaitan dengan kualifikasi individunya atau pembelokan tujuan atau kepentingan partainya baik sementara atau musiman pada saat rekrutmen atau mengubah tujuan partai secara mendasar.Pastinya, hal ini menjadi catatan penting bagi kita semua perihal tonggak akhirnya, yakni, proses kandidasi partai politik di internal partai, apakah memenuhi prinsip akuntabilitas, transparansi, edukasi dan partisipasi, atau hanya mengandalkan kader yang dianggap “paling mumpuni” dalam menggaet dukungan untuk mendapatkan perolehan suara sesuai dengan ambang batas.

Hal penting lainnya, yakni mengenai optimalisasi suara pemilih dalam rangka partisipasi rakyat dianggap masih belum efektif dan belum tercapai. Hal tersebut disebabkan karena suara yang diberikan kepada partai yang tidak berhasil menduduki kursi di parlemen akan dianggap hangus. Prinsip ini juga berdampak pada penerapan konsep kedaulatan rakyat dan demokrasi sebut saja dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada undang-undang. Khawatirnya, prinsip kedaulatan rakyat juga terganggu karena suara yang diberikan oleh pemilih tidak selalu dipergunakan secara optimal. Maka tentu saja, ketentuan sistem parliamentary threshold ditakutkan akan mempengaruhi efektivitas partai politik dalam melakukan rekrutmen politik, yang hanya akan berfokus pada kuantitas bukan pada kualitas secara mendalam.

 

Kesimpulan

Anggapan bahwa penerapan sistem multipartai di Indonesia pada masa reformasi yang terlalu ekstrim mengakibatkan adanya regulasi yang mendorong penyederhanaan melalui ketentuan atau regulasi tertentu. Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem ambang batas parlemen atau Parliamentary Threshold System. Efektivitas yang terlihat tentu saja adanya penyederhanaan sistem multipartai yang dianut Indonesia, sehingga jumlah kekuatan partai yang ada di parlemen dapat dikikis karena tidak memenuhi ketentuan ambang batas. Namun, berdasar kepada perdebatan dan pertanyaan mengenai dampak yang diberikan pada jalannya fungsi partai politik sebagai sarana rekrutmen politik, tentu penting untuk disoroti bahwasanya regulasi parliamentary threshold system jangan sampai mereduksi peran dan fungsi partai politik yang krusial dalam pemilu hanya untuk memenuhi kuantitas semata.  Partai politik sebagai organisasi esensial dalam rangka sarana penyerahan kedaulatan rakyat harus tetap berada di koridornya dengan melaksanakan rekrutmen politik yang berkualitas tanpa adanya penurunan standarisasi dan pengikisan kedaulatan rakyat.

 

Referensi

ADELIA, A. (2018). Relevansi Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) dengan Sistem Presidensial di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

Bachmid, F. (2020). Eksistensi Kedaulatan Rakyat dan Implementasi Parliamentary Threshold dalam Sistem Pemilihan Umum di Indonesia. SIGn Jurnal Hukum, 2(2), 87–103. https://doi.org/10.37276/sjh.v2i2.83

Budiman, A. (2017). PARLIAMENTARY THRESHOLD DALAM PENYEDERHANAAN SISTEM MULTIPARTAI DI INDONESIA.

Purnama, Y. A. (2021). AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD) DALAM PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2019 DITINJAU DARI TEORI KEDAULATAN RAKYAT.

PUTRA, T. S. (2019). PENGARUH AMBANG BATAS PARLEMEN TERHADAP KEBERLANGSUNGAN PARTAI POLITIK DALAM SISTEM PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA. Medan: UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

Seran, G. G. (2013). Kamus Pemilu Populer: Kosa Kata Umum, Pengalaman Indonesia, dan Negara Lain. Graha Ilmu: Yogyakarta

Sholahuddin Al-Fatih. (2022). Hukum Pemilu dan Threshold. UMMPress.

Wijaya, I. D. M. P. (2014). Mengukur Derajat Demokrasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Jurnal IUS, 2(6)., hlm, 564.

Sekretariat Presiden Seknas Jokowi Wilwatikta Forum Diskusi Politik Forum Aktivis 1998 FORUM POLITIK NTB Forum Merah Putih Pemprov NTB Forum Politik Intelektual Forum Diskusi Politik dan Pemerintahan Indonesia Media Indonesia Media Demokrasi Kita Media Nasional ..  DEMOKRASİ .. INFORMASI SEPUTAR KPK DAN POLITIK DI REPUBLIK INDONESIA Info Seputar Presiden 2024 “Debat politik seluruh rakyat Indonesia.” Berita MPR RI & DPR RI, DPRD RI GERAKAN RAKYAT PRO REFORMASI 1998 PEMILU PEMILU SERENTAK 2024 PEMILU SERENTAK 2024.

 

Sumber: Kompasiana

Share Article:

Leave a Reply


Notice: Undefined property: stdClass::$data in /home/fakt6635/public_html/wp-content/plugins/royal-elementor-addons/modules/instagram-feed/widgets/wpr-instagram-feed.php on line 4894

Warning: Invalid argument supplied for foreach() in /home/fakt6635/public_html/wp-content/plugins/royal-elementor-addons/modules/instagram-feed/widgets/wpr-instagram-feed.php on line 5567

Berita Terbaru

  • All Post
  • Autotekno
  • Beauty
  • Berita
  • Dunia
  • Ekonomi & Bisnis
  • Foto
  • Gaya Hidup
  • ILD
  • Konsultasi
  • Lifestyle
  • Nasional
  • Olahraga
  • Opini
  • Photography
  • Redaksi
  • Sosok
  • Travel
  • Uncatagories
  • Warna
    •   Back
    • Politik
    • Hukum
    • Daerah
    • Pendidikan
    • Wawancara
    •   Back
    • Peluang Usaha
    • Entrepreneur
    •   Back
    • Fashion
    • Kesehatan
    • Travelling & Kuliner
    •   Back
    • Motivasi
    • Inspirasi
    • Training & Seminar
    • Info Warga
    • Komunitas
Kenapa Rokok Diharamkan?

1.  Karena Allah Ta’ala berfirman: {وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ} [الأعراف: 157] Artinya: “Menghalalkan…

FAKTAREVIEW

Mengulas Fakta Dibalik Berita

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template

faktareview

Mengulas Fakta Dibalik Berita

Semoga konten-konten faktareview.com yag hadirkan bisa dinikmati, bisa memenuhi kebutuhan informasi serta bisa ikut membangun kesadaran masyarakat  menuju masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.

Terimakasih Telah Berkunjung