Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Wongsodidjojo Ramelan, Pengamat Intelijen
20 Januari 2021
Malam ini Rabu (20/1/2021) pukul 23.00 WIB (siang hari di Washington) kita akan melihat inaugurasi Joe Biden sebagai presiden Amerika Serikat ke-46, serta Kamala Harris sebagai wapres untuk masa jabatan empat tahun. Upacara dilangsungkan di Front Barat Capitol, Washington, D.C.
Penulis melihat berita serta kiriman video, suasana di Washington sudah seperti mau perang, Garda Nasional dilibatkan karena pada hari Rabu(6/1) kelompok massa pendukung Trump menyerang Gedung Capitol, berkelahi dengan polisi, menggeledah kantor, dan membuat anggota parlemen ketakutan meninggalkan upacara yang menyatakan kemenangan pemilihan Joe Biden.
Kasus terjadi karena ribuan orang yang sebelumnya berkumpul di Ellipse, dekat Gedung Putih mendengarkan pidato presiden Trump dan berpawai dengan tajuk ‘Selamatkan Amerika’. Pidato Trump tetap mengklaim bahwa dia adalah pemenang sebenarnya pemilihan 3 November 2020 mendesak para pendukungnya berdemo di Gedung Capitol.
Gedung Capitol merupakan tempat berkumpulnya para anggota DPR dan Senat AS, gabungan kedua majelis tersebut adalah Kongres AS.
Tercatat lima nyawa melayang di halaman Capitol termasuk seorang wanita yang ditembak polisi dan seorang perwira yang terluka. Kerusuhan Rabu dikatakan kekerasan paling mematikan yang terungkap di dalam dan sekitar benteng demokrasi Amerika dalam 200 tahun terakhir. Terlintas di abstrak penulis, bukankah ini bukti bahwa kebebasan berdemokrasi penuh saat ini telah melunturkan adab dari demokrasi?
Mengutip BBC International Senin (18/1), kelompok – kelompok kecil pengunjuk rasa, beberapa diantaranya ternyata membawa senjata api, berkumpul di gedung- gedung negara bagian. Ketegangan meningkat pasca kerusuhan mematikan di gedung kongres itu. The New York Times melaporkan sekitar 25 anggota gerakan Boogaloo Bois termasuk di antara pengunjuk rasa bersenjata berat berkumpul di gedung negara bagian di Columbus, Ohio.
Kelompok lain Cowboys for Trump juga telah bersumpah akan membawa senjata api saat Biden dilantik nanti. Ini adalah kelompok sayap kanan, yang mendukung Trump, termasuk anggota Three Percenters, Oath Keepers, dan Proud Boys. Beberapa ada yang datang jauh-jauh dari Hawaii.
Kantor kejaksaan kemudian memimpin penyelidikan lebih luas yang terdiri ratusan jaksa dan agen FBI untuk mengidentifikasi dan menuntut sejumlah pendukung Presiden Donald Trump yang menyerbu Gedung Capitol pada minggu lalu. Michael Sherwin, penjabat Kejaksaan AS wilayah District of Columbia. mengatakan jumlah tersangka yang diselidiki adalah 275 orang pada Jumat (15/1) pagi dan diperkirakan akan mencapai 300,bisa lebih.
Adab dan Demokrasi
Dari apa yang terjadi di AS itu penulis merenung, apakah telah terjadi perubahan sosial terkait adab dan demokrasi justru di pusat demokrasi? Apakah benar kita akan mencontoh dan terjerumus kepada demokrasi dari yang beradab menjadi tak beradab? Kasus-kasus yang mirip memang pernah terjadi di sini, misalnya seperti saat pilpres 2019.
Sebelum peristiwa di AS, kita bersama telah menyaksikan di layar kaca, di sini ada demo kekacauan, kekerasan, teriakan, sumpah serapah, bakar ban, pernah foto simbol negara dirusak. Kemudian terjadinya rangkaian bom bunuh diri selama sembilan tahun yang demikian menggiriskan. Semuanya bersembunyi dalam selimut, inilah demokrasi, inilah jaman kebebasan, negara ini punya rakyat. Ada yang memainkan peran berbungkus agama dan demokrasi.
Penulis yabg pernah menulis tentang Peradaban, Demokrasi dan Terorisme pada Februari 2010 di Ramalan Intelijen, kini coba me-refresh dengan terjadinya kasus Capitol Hill tersebut.
Apa yang dimaksud bila kita bicara tentang peradaban?
Samuel Hutington mendefinisikan, bahwa sebuah peradaban adalah sebuah entitas budaya. Desa-desa, wilayah-wilayah, kelompok-kelompok etnis, kelompok-kelompok bangsa, serta kelompok-kelompok agama, semua memiliki budaya yang berlainan pada tingkat keberagaman budaya yang juga berlainan.
Peradaban adalah pengelompokan budaya tertinggi dari sekelompok orang dan identitas budaya paling luas yang dimiliki oleh orang-orang yang membedakan manusia dari mahluk lain. Ia terdefinisikan baik lewat unsur-unsur objektif umum seperti bahasa, sejarah agama, kebiasaan, institusi, maupun identifikasi diri yang subjektif.
Di dunia terdapat beragam peradaban, dimana masing-masing budaya memiliki pandangan berbeda tentang hubungan antara Tuhan dan manusia, individu dan kelompok, penduduk dan negara, orang tua dan anak, suami dan isteri serta perbedaan pandangan akan pentingnya arti hak dan kewajiban, kebebasan dan otoritas, persamaan dan hierarki.
Bangsa Barat yang demikian maju selalu mencoba gagasan adanya peradaban universal. Sebuah standarisasi peradaban yang di gelontorkan keseluruh dunia. Amerika serta negara-negara Barat mencoba membujuk masyarakat dunia lain agar mengikuti mereka tentang masalah demokrasi dan hak asasi. Disinilah terkait antara peradaban dan demokrasi.
Pemerintahan demokrasi modern menurut Hutington berasal dari Barat.
Kita faham bahwa begitu berkembang di negara kita, maka demokrasi itu adalah merupakan produk kolonialisme atau pemaksaan Barat. Hanya tiga alternatif bagi bangsa non Barat dalam menghadapi pengaruh peradaban Barat, yaitu pertama melakukan penolakan, isolasi. Kedua, mencontek, bergabung dengan ide Barat tersebut, menerima dan mengadobsi nilai-nilai yang mereka inspirasikan. Ketiga berusaha menyeimbangkan pengaruh Barat tersebut, berusaha mempertahankan nilai dan institusi lokal, kemudian berusaha menjadi modern tanpa menjadi kebarat-baratan.
Nah, bagaimana Indonesia?
Kini, kita melihat dari ukuran budaya institusi lokal kita, bagaimana yang namanya saling menghargai, kesantunan, rasa menghormati sudah mulai luntur. Adab hanya terdapat di tempat ibadah, saat bersimpuh dihadapan Tuhan. Setelah mereka meninggalkan tempat ibadah, maka adab itu bukan bagian penting lagi. Berlakulah hukum rimba, yang keras, tidak peduli tidak ada sopan santun, saling menghargai lenyap. Ukuran yang utama adalah kebebasan itu, seperti yang diajarkan demokrasi itu dan kini kita terapkan.
Kebebasan mendera mulai dari jalan raya, lorong-lorong gelap, kampung, desa, sekolah hingga gedung megah di parlemen itu. Menghina pemimpin dihalalkan, melempar polisi juga boleh, semua maunya merdeka, siapa suruh mau jadi pemimpin? kata mereka. Sekali lagi inilah demokrasi bung!. Jangan marah kata aktivis demokrasi itu yang juga bertelanjang dada.
Akhirnya yang terjadi adalah konflik, baik antara masyarakat, antar masyarakat dan petugas, antar parpol, parpol dan penguasa, antara anggota koalisi, keras, tanpa kompromi, mau menang sendiri. Stephen M.Walt menuliskan bahwa konflik-konflik yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan selalu merupakan bahaya potensial.
Konflik yang berkepanjangan medorong timbulnya kebencian dan keinginan untuk balas dendam, membantu munculnya kelompok-kelompok yang tujuan utamanya adalah mengobarkan perang. Kondisi ini menyediakan tanah penyemaian yang ideal bagi jenis orang yang bersedia terlibat dalam teror massal. Bukankah kini terorisme sudah ada di negara kita?
Nah, pada akhir tulisan, penulis memberi apresiasi keberanian pemerintah dalam menyesaikan kemelut merebaknya pengaruh kebebasan dengan bungkus agama. Tidak masalah bangsa kita menggunakan faham demokrasi, tetapi tetap harus dijaga pada koridor hukum dan ideologi Pancasila, agar adab tidak luruh. Setiap potensi konflik harus diredam, jangan dilebarkan dan menunggu terlambat. Jelas kita ngeri kalau ada yang “nenteng” AK-47 seperti di AS itu.
Penutup
Sebagai penutup, peran aparat keamanan sangat besar meredam potensi rusuh, itulah tugas Kapolri baru Komjen Listyo Sigit yang sudah sangat faham dengan pemikiran Presiden Jokowi, tdak perlu ragu, kalau potensi ancaman membesar ada back up, seperti di AS Garda Nasional, disini ada TNI , semoga bermanfaat, Pray d Soldier
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Wongsodidjojo Ramelan, Pengamat Intelijen