Petani adalah Penyelamat Negara
Oleh: Mubasyier Fatah
Koordinator Bidang Ekonomi Kreatif PP ISNU (Pengurus Pusat Ikatan Sarjana NU)
PENULIS penasaran sekali dengan apa yang disampaikan Muhaimin Iskandar pada debat Pilpres 2024 yang berlangsung di JCC dan disiarkan langsung sejumlah media pada 21 Januari 2024.
Mengutip Hadrotusy Syeih, calon wakil presiden yang mendampingi Calon Presiden Anies Baswedan itu menyatakan bahwa “petani adalah penolong negara”.
Memang benar, dalam konteks pembangunan dan keberlanjutan suatu negara, peran petani harus diakui sebagai penolong atau penyelamat negara.
Meski sering dianggap sebagai profesi sederhana, tetapi petani ternyata memiliki peran strategis dalam memenuhi kebutuhan pangan, menunjang perekonomian, dan menjaga ketahanan pangan suatu negara.
Kontribusi terhadap PDB
Bagi Indonesia, kontribusi petani terhadap perekonomian negara sangat nyata. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa selama periode 2015-2023, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB menunjukkan tren pertumbuhan meski berfluktuasi.
Pada tahun 2015, kontribusi sektor pertanian dalam arti sempit (subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan) terhadap PDB adalah sebesar 10,27 persen.
Kemudian pada tahun 2020 akibat pandemi Covid-19, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB berdasarkan harga yang berlaku (ADHB) melandai menjadi 10,20 persen.
Pada tahun 2021, sumbangan sektor pertanian naik menjadi 13,28 persen terhadap PDB. Kemudian pada tahun 2022 kontribusinya merosot 0,88 persen menjadi 12,40 persen terhadap PDB.
Menurut Plt Kepala BPS Amalia Adininggar , hingga Desember 2023, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB masih sama seperti tahun 2022 yaitu sebesar 12,40 persen.
Ia merinci kontribusi sektor pertanian ditopang oleh subsektor tanaman perkebunan sebesar 3,76 persen, subsektor perikanan 2,58 persen, subsektor tanaman pangan 2,32 persen, peternakan 1,52 persen, tanaman pangan hortikultura 1,44 persen, kehutanan 0,690 persen, serta jasa pertanian dan perburuan 0,18 persen.
Belum mendapat perhatian serius
Selain menyumbang cukup besar terhadap PDB, sektor pertanian juga mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
BPS mencatat, hingga Agustus 2023, jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia mencapai 139,85 juta orang. Berdasarkan sektornya, sebanyak 39,45 juta orang bekerja pada sektor pertanian atau setara dengan 28,21 persen dari total penduduk bekerja.
Meski jumlah petani cukup besar dan sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian negara, tampaknya pemerintah belum menaruh perhatian serius atas mereka.
Salah satu bukti kurangnya perhatian terhadap sektor pertanian dan petani, terlihat pada tren realisasi investasi.
BPS mencatat pada tahun 2020 realisasi investasi sektor pertanian mencapai Rp 49,3 triliun. Namun pada tahun 2021, realisasi investasi sektor pertanian merosot menjadi Rp43,43 triliun atau sebesar 4,82 persen dari total nilai investasi Indonesia sebesar Rp901,02 triliun.
Realisasi investasi Indonesia hingga kuartal III tahun 2023 mencapai Rp374,4 triliun. Dari angka tersebut, nilai investasi di sektor pertanian hanya sebesar Rp13,7 triliun, jauh lebih kecil dari investasi untuk hilirasi sektor mineral misalnya Rp64,7 triliun.
Dampak dari kurangnya perhatian terhadap pengembangan sektor pertanian menyebabkan petani menghadapi sejumlah masalah serius..
Mereka mempunyai akses yang terbatas terhadap lahan pertanian. Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) tahun 2018 misalnya menunjukkan bahwa 15,89 juta rumah tangga atau 59,07 persen dari total 28,42 juta rumah tangga petani hanya memiliki lahan minim, kurang dari 0,5 Ha.
Selain itu, petani juga belum memiliki akses yang memadai terhadap program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan. Sementara itu, masih sedikit petani yang dapat mengakses teknologi pertanian modern.
Petani juga sering kewalahan dalam mengembangkan usaha pertanian dan menjual komoditas pertanian. Selain karena kekurangan modal, mereka juga kurang didukung oleh infrastruktur seperti waduk/bendungan, irigasi, jalan raya, jembatan, dan pelabuhan yang memadai.
Di sisi lain, pemerintah tidak mengambil kebijakan pasar yang berpihak pada kepentingan para petani. Akibatnya harga komoditas para petani selalu berfluktuasi, bahkan cenderung menurun.
Dampak lanjutannya, para petani menjadi kelompok sosial yang miskin secara ekonomi. Data BPS menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2023 sebanyak 25,90 juta jiwa, dimana 51,33 persennya merupakan penduduk yang sumber pendapatan utamanya di sektor pertanian.
Mengevaluasi kembali program food estate
Memang, sudah sejak lama pemerintah Indonesia mencanangkan program food estate untuk memperkuat sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan para petani..
Pada tahun 2010, pemerintahn SBY menggagaskan kawasan Pengembangan Lahan Gambut (PLG) satu juta hektare di Kabupaten Kapuas Kalteng, dan program pengembangan pangan dan energi secara terpadu seluas 1,3 juta Ha atau 30 persen dari luas Kabupaten Merauke. dan 1 juta Ha. Namun program tersebut gagal.
Kemudian, melalui Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 108 Tahun 2022 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2023, Presiden Jokowi menggagaskan konsep food estate. Konsep pengembangan pangan secara teritegrasi itu menjadi bagian dari program strategis nasional (PSN) 2020-2024. Untuk program tersebut pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp235, 46 miliar.
Sebagai PSN, implementasi food estate tersebar di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Provinsi Sumatera Utata, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur hingga Papua..
Namun tampaknya konsep food estate tidak dilakukan berdasarkan penelitian dan kajian yang mendalam. Alhasil, program tersebut justru menimbulkan permasalahan baru bagi sektor pertanian dan para petani itu sendiri.
Muhaimin Iskandar menilai penerapan program food estate berpotensi merugikan petani karena berdampak negatif terhadap hak atas tanah petani. Penerapan program food estate tidak sesuai dengan praktik pertanian setempat dan menimbulkan risiko terhadap lingkungan.
Program food estate melibatkan konversi lahan yang semula dimiliki oleh petani lokal. Konversi lahan berpotensi merugikan petani karena berkurangnya akses mereka terhadap lahan atau sumber daya lahan yang penting bagi penghidupan mereka.
Selain itu, pendekatan yang diterapkan dalam program food estate tidak selaras dengan praktik pertanian lokal. Akibatnya, para petani yang terbiasa dengan sistem pertanian tradisional kesulitan beradaptasi. Dampak lanjutannya adalah mereka tidak dapat bekerja secara efisien dan tidak dapat berproduksi secara maksimal.
Program yang melibatkan perubahan penggunaan lahan secara besar-besaran juga dapat menimbulkan risiko lingkungan, antara lain kerusakan ekosistem, penurunan kualitas tanah, dan permasalahan lain yang dapat mempengaruhi kelestarian lingkungan.
Melihat potensi risiko yang sangat besar, Muhaimin Iskandar mengusulkan agar dilakukan evaluasi secara detail terhadap dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari program food estate.
Menurutnya, Indonesia perlu melakukan penelitian mendalam dan kemudian berdiskusi kembali untuk mendapatkan pemahaman yang lebih utuh sebelum melaksanakan program food estate lebih lanjut.
Transformasi sektor pertanian
Tidak dapat dipungkiri bahwa petani mempunyai peranan penting dalam menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia secara berkelanjutan.
Petani merupakan garda terdepan dalam menjamin ketersediaan pangan yang penting bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Tanpa mereka, tidak akan ada sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Petani bertanggung jawab menanam, merawat, dan memanen hasil pertanian yang menjadi basis produksi pangan.
Berdasarkan data dan proyeksi pertumbuhan penduduk Indonesia periode 2015-2045, pada tahun 2045 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 318,96 juta jiwa, tumbuh 24,80 persen (63,37 juta jiwa) dari tahun 2015.
Dalam konteks pertumbuhan penduduk yang begitu besar, kita perlu segera mentransformasi sektor pertanian sekaligus meningkatkan kompetensi dan kapasitas para petani.
Transformasi pertanian berarti mengubah paradigma pola pembangunan pertanian. Jika sebelumnya pembangunan pertanian hanya terfokus pada sektor hulu, maka harus beralih menjadikan sektor pertanian sebagai motor penggerak transformasi pembangunan yang menyeluruh dan seimbang yang disebut pertanian untuk pembangunan .
Pembangunan pertanian berkelanjutan bertujuan untuk melihat lahan pertanian sebagai satu kesatuan industri dengan seluruh faktor produksi yang menghasilkan produk pangan utama dan produk lainnya (produk turunan, produk samping dan limbah) yang dikelola untuk industri menuju zero waste (tidak ada yang terbuang).
Sehubungan dengan itu, ke depan pemerintah perlu meningkatkan investasi di sektor pertanian, khususnya membangun infrastruktur guna menunjang pertumbuhan sektor pertanian secara berkelanjutan.
Pemerintah perlu membuka akses seluas-luasnya agar petani memiliki lahan pertanian yang memadai.
Pemerintah juga perlu meningkatkan pengetahuan dan kompetensi petani melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan pertanian. Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kepada petani merupakan hal yang penting dan mendesak karena tingkat pendidikan petani kita masih tergolong rendah.
BPS mencatat, dari sisi pendidikan, 66,42 persen angkatan kerja di sektor pertanian tidak bersekolah hingga tamat sekolah dasar. Sebanyak 16,13 persen merupakan lulusan SMP, dan 14,33 persen merupakan lulusan SMA.
Lebih dari itu, pemerintah perlu memfasilitasi akses petani terhadap teknologi modern sehingga mereka bertani secara efisien. Pemerintah juga perlu menciptakan kebijakan pasar yang memihak para petani sehingga harga komoditas pertanian menjadi lebih stabil, dan para petani lebih mudah mengekspor komoditas pertanian ke pasar luar negeri dengan harga bersaing.
Maka penting bagi kita semua untuk mengapresiasi para petani. Kita juga wajib memberikan dukungan agar mereka dapat terus memproduksi pangan secara optimal, menyelamatkan negara dari kelangkaan pangan dan memberikan kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi nasional.***