Ber-Tuhan àtau tidak bertuhan, beragama àtau tak beragama, menjadi berguna àtaupun tidak berguna. Bahkan menjadi baik ataupun buruk . Semuanya adalah pilihan berdasar masing – masing akal kercerdasan.
Karena memang kehidupan adalah pilihan dengan segala konsekuènsinya . Bagi siapa saja di antaramu Yang mau maju atau mau mundur dipersilakan . Setiap diri bertanggung-jawab atas apa yang dilakukannya.
orang yang gemar dan rajin berkomentar agar didengarkan , kita yang membaca seperti dijejali dengungan yang tak berkesudahan di dalam kepala.
Tulisan fakta , berita , opini , fitnah , caci-maki , nasihat , bahkan ayat-ayat suci seolah berebut suara paling keras di benak kita.
Tetapi kita lebih suka membaca dan mendengarkan apa yang memang ingin kita dengar , yang mendukung dengan prasangka kita.
Hanya saja , kata-kata di medsos sering bertolak-belakang dengan perbuatan dan atau prinsip-prinsip moral , etika dan religi.
Contoh sederhana , kita dilarang mencaci-maki dan su’udzon , tapi kita suka melontarkan hinaan dan kecurigaan buruk setiap hari terhadap pihak-pihak yang tak kita sukai . Setiap hari sharing opini berbasis dugaan , prasangka , dan apalagi dengan teori konspirasi.
Kita hanya tahu sedikit tapi seolah tahu semuanya . Dengan cara itu kita memupuk prasangka buruk dan kebencian dalam diri kita sendiri.
Jika sudah seperti itu , sulit diharapkan akan bisa menghargai orang lain yang tidak disukai , sebab di matanya , orang lain yang dibencinya itu tidak pernah berbuat baik . Jika ada kebaikan , itu dianggap pura-pura.
Setiap diri membangun benteng kebencian dan pemujaan masing-masing . Setiap orang memilih sendiri bekal yang akan dibawa mati.
Kita lalu bisa bertanya , apakah kita siap menghadapi hari perhitungan dan pembalasan jika bekal kita adalah tumpukan ghibah dan kebencian misalnya ?
Dunia medsos membuat orang ingin tampil , bahkan viral kalau perlu . Walau keinginan eksis atau viral itu sebenarnya wajar , namun hal itu bisa jadi masalah ketika konten yang kita viralkan adalah hal-hal yang dianggap normal dalam habitat medsos namun sebenarnya membuat beban hisab di akhirat jadi lebih berat.
Misalnya, membicarakan aib orang, atau bahkan atas nama prinsip, kadang ada yang melakukan pembunuhan karakter atas orang yang dianggap keliru, dengan cara memviralkan aibnya.
Mempermalukan orang di medsos mungkin semakin terasa wajar karena makin banyak yang melakukannya . Tetapi , pernahkah kita berpikir sederhana seperti ini . Si anu melakukan kesalahan yang sebetulnya bisa diselesaikan secara offline atau tanpa gembar-gembor.
Namun kita memilih memviralkannya . Maka orang-orang berbondong-bondong menggunjingkannya.
Tetapi pernahkah kita berpikir bahwa si anu mungkin masih punya orang tua, anak, istri, saudara, sahabat.
Kita memviralkan aib dan kita pula yang menjadi sebab munculnya ratusan gunjingan dan rasa malu dan sedih di hati keluarga yang mungkin tidak ada hubungannya dengan kekeliruan orang yang kita viralkan.
Barangkali kita sekarang merasa hal itu biasa saja , kita anggap itu konsekuensi dari perilaku . Kita selalu punya dalih yang bagus untuk mempermalukan orang yang berbuat khilaf atau salah.
Kadang bahkan hati senang ketika melihat ada orang lain mengalami masalah di medsos dan kita ramai-ramai menggunjingkannya , seakan diri kita tak punya aib dan bersih dari kesalahan.
Apakah memang kita butuh menggunjingkan aib orang agar diri kita merasa lebih baik dan benar ? Manusia memang unik , tak suka aibnya diketahui dan dibicarakan orang di muka umum , namun senang sekali membicarakan aib selain dirinya.
Kadang orang lupa bahwa apapun yang kita lakukan dan bicarakan , sekecil apapun , ada hal yang harus disadari dan itu semua punya konsekuensi yang harus diemban di hadapan Tuhan.
Wa Allahu a’lam.
Moch Anshary