Pertanyaan:
Saat ini Anda memilih apa? Apa memilih tidak usah boikot saja? Ataukah lariskan produk muslim?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin melariskan produk saudara muslim
Bani Qainuqa’ adalah salah satu kelompok Yahudi di Madinah yang melanggar perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kebanyakan profesi mereka adalah sebagai pedagang dan pengusaha emas.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan orang-orang Bani Qainuqa’ di pasar, Rasulullah mengajak untuk masuk Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyadari bahwa Yahudi menguasai perdagangan di kota Madinah melalui penguasaan atas pasar Bani Qainuqa’.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkeinginan agar Madinah memiliki pasar lain yang bebas dari kekuasaan Yahudi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memasang tenda besar di tempat Baqi’ Ibnuz Zubair.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meresmikan pasar ini dengan mengatakan,
هَذَا سُوْقُكُمْ
“Ini adalah pasar kalian, kaum muslimin.” Hal ini membuat orang-orang Yahudi marah besar. (Al-Ishthifa’i min Sirah Al-Mushthafa, hlm 230, Baisan li An-Nasyr)
Fatwa ulama: menggunakan produk non-muslim padahal masih ada produk dari saudara muslim
Pertanyaan pada komisi fatwa kerajaan Saudi Arabia:
Apa hukum kaum muslimin tidak saling tolong menolong yaitu mereka tidak saling rida dan tidak punya keinginan untuk membeli produk dari saudara mereka sesama muslim?
Namun yang ada malah dorongan untuk membeli dari toko-toko non-muslim, apakah seperti ini halal ataukah haram?
✅Jawaban para ulama tersebut:
Jawab oleh: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal MSc
Perlu diketahui, dibolehkan bagi seorang muslim untuk membeli kebutuhannya yang Allah halalkan baik dari penjual muslim maupun non-muslim.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melakukan jual beli dengan seorang Yahudi.
Namun, jika seorang muslim berpindah kepada penjual non-muslim tanpa ada sebab–di antara sebabnya misalnya penjual muslim tersebut melakukan penipuan, menetapkan harga yang terlalu tinggi atau barang yang dijual rusak/cacat–jika itu terjadi dan akhirnya dia lebih mengutamakan orang kafir daripada muslim, ini hukumnya haram.
Perbuatan semacam ini termasuk loyal (wala’), rida, dan menaruh hati pada orang kafir.
Akibatnya:
hal ini bisa membuat melemahnya dan lesunya perekonomian kaum muslimin.
Jika semacam ini jadi kebiasaan, akibatnya adalah berkurangnya permintaan barang pada kaum muslimin.
Adapun jika di sana ada faktor pendorong semacam yang telah disebutkan tadi (yaitu penjual muslim yang sering melakukan penipuan, harga barang yang terlalu tinggi atau barang yang dijual sering ditemukan cacat), maka wajib bagi seorang muslim menasihati sikap saudaranya yang melakukan semacam itu yaitu memerintahkan agar saudaranya tersebut meninggalkan hal-hal jelek tadi.
Jika saudaranya menerima nasehat, alhamdulillah.
Namun jika tidak dan dia malah berpaling untuk membeli barang pada orang lain bahkan pada non-muslim, pada saat itu dibolehkan, ia boleh mengambil manfaat dengan bermuamalah dengan mereka.
Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.
Fatwa Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabi Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’, Soal Ketiga dari Fatawa no. 3323
Fatwa ini ditandatangani oleh: Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan sebagai anggota, Syaikh ‘Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua, dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin ‘Abdillah bin Baz sebagai ketua.
Contoh alasan bolehnya membeli produk non-muslim berdasarkan fatwa di atas
☑ Tidak ditemukan produk yang sama pada saudara muslim.
☑ Pelayanan kaum muslimin jelek, misalnya suka menipu, mengelabui, dan produknya tidak berkualitas.
☑ Produk kaum muslimin terlalu mahal.
Ketentuan di atas juga berlaku untuk rumah sakit, praktik dokter, rumah makan, sekolah, perguruan tinggi, dan lain-lain.
Dalil kenapa harus loyal pada sesama muslim
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan para lelaki yang beriman serta para perempuan yang beriman, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) hal yang ma’ruf, mencegah dari hal yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah serta Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. At-Taubah: 71)
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka.” (QS. Al-Mujadilah: 22)
Masalah Boikot
Hukum asal membeli produk orang kafir itu dibolehkan karena ini bagian dari muamalah yang mubah.
Jika terdapat produk muslim dan produk kafir yang kualitasnya sama-sama bagus, maka dahulukanlah membeli produk muslim agar tidak termasuk loyal pada orang kafir.
Namun jika ternyata produk muslim tidak memiliki kualitas yang bagus sebagaimana produk orang kafir dan bahkan sering dikelabui, maka saat ini tidak mengapa membeli produk orang kafir.
Hukum asal boikot produk musuh Islam adalah mubah (dibolehkan).
Terkadang hukum boikot bisa menjadi wajib atau sunnah bahkan kadang pula bisa diharamkan tergantung dari maslahat dan mafsadat.
Boikot ini dilakukan jika memang kaum muslimin tidak merasa kesulitan mencari pengganti dari produk yang diboikot.
Sebaiknya boikot ini diserahkan kepada penguasa karena hal ini menyangkut maslahat orang banyak.
Jika semua orang angkat bicara dalam masalah ini, maka akan membuat orang awam bingung.
Produk yang diboikot memang betul-betul diyakini hasilnya digunakan untuk menindas kaum muslimin. Jika hanya sangkaan tanpa bukti kuat, maka ini sama saja mengelabui kaum muslimin.
Memahami Produk Non-Muslim
Patut dipahami bahasan kita adalah:
☑ Kehalalan produk
☑ Pemilik produk
Kehalalan produk menentukan sah tidaknya transaksi. Jika produk halal, tetapi dimiliki non-muslim, boleh (mubah) melakukan jual beli. Hukum mubah jual beli produk halal milik non-muslim bukan berarti mustahab (sunnah) atau wajib.
Jika produk halal, tetapi milik non-muslim berdampak pada hukum:
☑ Mubah jual beli
☑ Mubah jadi karyawan
Akan tetapi, kita katakan kepada konsumen muslim, “Jika ada produk semisal milik muslim, berpihaklah dan dukunglah ekonomi muslim.”
Intinya, yang jadi masalah bukan jual-belinya dari non-muslim, namun masalahnya bagaimana loyalitas kita.
Jika ada produk non-muslim kita beli, itu tetap masih halal.
Demikian faedah yang kami peroleh dari hasil diskusi dengan dua guru kami: (1) Ustadz Aris Munandar, M.P.I., dan (2) Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, M.A.
Sekadar saran
Tak perlu boikot berlebihan pada suatu produk, apalagi sampai mengharamkan.
Mending untuk masalah boikot serahkan saja pada pemerintah yang suaranya lebih didengar dalam hal ini.
Cintailah dan lariskanlah produk saudara kita yang muslim selama kita masih dapat yang sama baiknya.
Termasuk juga kami sarankan dalam hal rumah sakit, praktik dokter, rumah makan, sekolah, perguruan tinggi, dan lain-lain. Memilih seperti ini lebih aman dan lebih menentramkan kita.
Ada yang buat pesan bagus seperti ini:
“KAEDAH UTAMAKAN PRODUK MUSLIM”
“Dahulukan, cari dan beli produk milik muslim di warung milik muslim.
Jika tidak ada warung muslim, beli produk muslim di warung non-muslim.
Jika tidak ada produk muslim, beli produk non-muslim di warung muslim.
Jika tidak ada produk dan warung muslim, baru belilah produk non-muslim di warung non-muslim.”
Semoga Allah beri keberkahan pada kaum muslimin dalam setiap perdagangannya yang halal.