1. LATAR BELAKANG
Kesejahteraan suatu negara yang adil dan makmur dapat diwujudkan dengan didukung oleh perekonomian yang kuat. Dalam rangka mencapai melaksanakan pembangunan di bidang ekonomi ini, faktor permodalan merupakan syarat yang mempunyai peranan yang sangat penting. Masyarakat berusaha menunjang pembangunan dengan cara mengembangkan berbagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.[1]
Untuk mengembangkan berbagai usaha oleh masyarakat, pada awalnya pasti dibutuhkan dana dalam jumlah yang besarnya. Selanjutnya diperlukan pula kesinambungan antar berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat itu sendiri sebagai perseorangan atau badan hukum. Pada akhirnya, dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat juga keperluan akan tersedianya dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan.
Dengan melihat pentingnya kedudukan dana perkreditan dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.[2]
Salah satu aset yang dimiliki masyarakat sebagai modal dalam melakukan usaha adalah tanah yang ditempati oleh mereka sendiri. Untuk mengakomodir hal tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan dasar ketentuan yang mengatur bidang pertanahan di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam Pasal 51 UUPA, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hypotheek dan Credietverband.
Seiring dengan pelaksanaan Pasal 51 UUPA tersebut, Pemerintah menyadari bahwa dibutuhkan lembaga Hak Tanggungan sebagai pengganti dari lembaga Hypotheek. Oleh karena, pada tanggal 9 April tahun 1996 lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU Hak Tanggungan).
2. PENGERTIAN & PENGATURAN HAK TANGGUNGAN
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.[3]
Apabila dipersingkat, maka Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, jika debitur cedera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor yang lain. Keududukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang negara menurut ketentuan hukum yang berlaku.[4]
Sampai dengan saat ini, hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang yang dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah Negara alasannya karena hak-hak tersebut sebagai hak atas tanah yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Adapun bagi Hak Paka atas Hak Milik dibuka kemungkinannya untuk di kemudian hari dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan, jika telah dipenuhi persyaratannya.
Selain itu, adapula Tanah dengan Hak Milik yang sudah diwakafkan dan tanah-tanah yang diperlukan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, walaupun didaftar, karena menurut sifat dan tujuannya tidak dapat dipindahtangankan, tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.
Selanjutnya, dalam kasus-kasus tertentu kenyataannya adalah terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman, dan hasil karya, yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan hutang tersebut. Sebagaimana diketahui Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan pemisahan horizontal, yang artinya adalah benda-benda yang berada di atas tanah bukan bagian dari tanah yang bersangkutan. Akan tetapi, karena penerapan hukum adat tidaklah mutlak, melainkan selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat yang dihadapinya. Oleh karena itu, dalam praktiknya, sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan dan keikutsertaannya dijadikan jaminan, maka dengan tegas dinyatakan oleh pihak-pihak dalam Akta Pemberian Hak Tanggungannya.
Setelah mengetahui pengertian dan pengaturan Hak Tanggungan di atas, maka Undang-Undang Hak Tanggungan yang diharapkan menjadi hak jaminan atas tanah yang kuat meliputi empat ciri, yaitu :[5]
- Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya;
- Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada;
- Memenuhi asas spesialitas dan publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan; dan
- Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
3. PELAKSANAAN HAK TANGGUNGAN
Dalam Bab IV UU Hak Tanggungan telah diatur secara rinci mengenai Tata Cara Pemberian, Pendaftaran, Peralihan, dan Hapusnya Hak Tanggungan. Akan tetapi, dalam makalah ini, Penulis akan menjabarkan pelaksanaan hak tanggungan secara garis besar, yaitu :
- Pemberian Hak Tanggungan :[6]
- Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut;
- Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Aktan Tanah (PPAT) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan
- Pendaftaran Hak Tanggungan :
- Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
- Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana, PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
- Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak tas tanah yang bersangkutan.
- Tanggal buku-tanah Hak Tanggungan dimaksud adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
- Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku-tanah Hak Tanggungan sesuai dengan yang disebut di atas.
- Peralihan Hak Tanggungan :
- Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru.
- Beralihnya Hak Tanggungan wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor Pertanahan.
- Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan dengan mencatatnya pada buku-tanah Hak Tanggungan dan buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat Hak Tanggungan dan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
- Tanggal pencatatan pada buku-tanah adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
- Beralihnya Hak Tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari tanggal pencatatan sebagaimana yang dijelaskan di atas.
- Hapusnya Hak Tanggungan :
- Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :
- hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
- dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
- pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
- hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
- Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
- Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan
- Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin.
4. EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
Setelah dijabarkan mengenai tata cara pemberian, pendaftaran, peralihan, dan hapusnya Hak Tanggungan, selanjutnya akan dijelaskan mengenai eksekusi Hak Tanggungan, berikut juga permasalahan dan hambatan yang ada dalam ekseskusi tersebut.
- Kekuatan Hukum Eksekusi Hak Tanggungan
Sertifikat Hak Tanggungan sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dengan begitu, maka Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti Groose Acte Hypotheek, sepanjang mengenai hak atas tanah. Sehingga apabila debitur cedera janji, maka siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie.
Parate Executie adalah kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri barang yang menjadi objek jaminan, jika debitur cedera janji tanpa harus meminta fiat (persetujuan) dari Ketua Pengadilan. Dalam Bagian Pejelasan Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan disebutkan bahwa pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek Hak Tanggungan.
- Kendala dan Hambatan Eksekusi Hak Tanggungan
Keberadaan jaminan hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan, sebenarnya diciptakan untuk mendorong kesejahteraan ekonomi masyarakat Indonesia, demi meningkatnya pembangunan ekonomi di Indonesia.
Setelah menyimpulkan isi dan tata cara pelaksanaan Hak Tanggungan sampai dengan eksekusinya, sebagaimana termaktub dalam UU Hak Tanggungan, jelas telah sejalan dengan tujuan dari undang-udang tersebut, yaitu demi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi di Indonesia.
Akan tetapi, pada kenyataannya masih terdapat banyak kendala dan hambatan dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan, yang seringkali tidak sesuai dengan kekuatannya yang bersifat Parate Executie. Penyebabnya terdiri dari berbagai faktor dan pihak yang bersangkutan, baik dari kreditur dan debitur, maupun bank yang tidak menjalankan prudential banking. Selain itu, para pejabat pemerintah lewat katabelece/referensi atau praktik KKN dalam menghancurkan sistem perbankan Indonesia, dengan demikian terjadinya kredit macet dapat terjadi karena hal-hal di bawah ini :
- Ulah debitur yang berusaha untuk megelak pengembalian kredit yang telah diterima atau dengan segala akal busuknya berusaha menghambat pengembalian kredit yang telah diterimanya melalui upaya hukum biasa atau upaya hukum luar biasa;
- Kepala bagian kredit bank yang bersangkutan kurang cermat menilai harga objek jaminan, sehingga kredit pada waktunya tidak dapat ditagih;
- Kredit sengaja dibiarkan membengkak oleh pihak bank oleh karena harga tanah yang dijaminkan diprediksi akan naik dan pada waktunya nanti diperkirakan akan tertutup dan bunga akan masuk, dan masih banyak lagi hal-hal yang dapat menghambat eksekusi dari Hak Tanggungan.
Di atas telah dijabarkan penyebab terjadinya kendala dan hambatan dalam ekseskusi Hak Tanggungan, yang oknum utamanya adalah dari pihak bank. Selanjutnya, Penulis akan memberikan contoh kasus yang acap kali terjadi, yang pada ujungnya menghambat eksekusi Hak Tanggungan yang menimbulkan ketidakadlian bagi salah satu pihak. Penulis memberikan contoh kasus sebagai berikut :
- Sebagai contoh, misalnya pihak debitur membebani tanah dan bangunan miliknya yang berada di Kabupaten Majalengka dan siap untuk dieksekusi. Setelah dihitung oleh lembaga pelelangan (KPKNL), jaminan hak atas tanah tersebut bernilai di bawah Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
- Selanjutnya, setelah pihak kreditur akan melaksanakan eksekusi di KPKNL, ternyata di dalam jaminan tersebut masih dihuni oleh keluarga dari pihak debitur, sehingga bangunan tersebut harus dikosongkan terlebih dahulu.
- Karena adanya permasalahan tersebut dan untuk meminimalisir adanya pelanggaran hukum, maka pihak debitur memberikan kuasa kepada kuasa hukumnya untuk melakukan eksekusi tersebut.
- Tentunya eksekusi pengosongan bangunan tidak boleh dilakukan secara paksa, sehingga tim kuasa hukum debitur harus memberikan somasi kepada penghuni bangunan yang dijaminkan tersebut.
- Pada akhirnya, setelah dilakukan upaya pengosongan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, total biaya yang dikeluarkan debitur ternyata telah melebihi dari Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Sehingga, nilai piutang yang diterima debitur pun otomatis berkurang.
Dari contoh kasus tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada kebanyakan kasus eksekusi Hak Tanggungan, meskipun memiliki kekuatan Parate Executie, akan tetapi ada saja pihak debitur yang tidak patuh terhadap hal tersebut. Sehingga tanah dan benda-benda yang berada diatasnya yang telah dijaminkan, tidak dapat dieksekusi sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Sehingga pada akhirnya dapat memberikan kerugian pada pihak kreditor dari segi material maupun non material (waktu, tenaga, dan sebagainya).
5. PENUTUP
Masih banyak lagi berbagai peristiwa yang dapat menghambat eksekusi hak tanggungan, yang pada akhirnya Penulis ingin menyatakan bahwa penerapan hak tanggungan demi mencapai tujuan dan cita-cita pembangunan ekonomi suatu negara belum benar-benar terwujud, jika beberapa pihak belum mampu berkomitmen dan menjalankan kewajiban masing-masing, yang pada akhirnya hanya memberikan kerugian bagi pihak tertentu.
Tentunya dengan kerugian yang dialami oleh pihak tertentu, pada akhirnya akan berdampak pada terhambatnya perkembangan ekonomi pihak yang bersangkutan tersebut, dan secara lebih luas lagi akan menghambat perkembangan ekonomi suatu negara. Oleh karenanya, dibutuhkan komitmen yang kuat antara seluruh pihak, baik kreditur dan debitur, maupun pihak bank. Selanjutnya, setelah masing-masing telah melakukan komitmen yang kuat, diperlukan pula aturan dan pengawasan yang jelas dan tegas terhadap upaya hukum yang akan dilakukan apabila pada akhirnya terjadi cedera janji dari pihak yang bersangkutan, demi terciptanya kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi negara Indonesia.
_____________________________________________________________________________________________________
[1] Sutedi, Adrian. Hukum Hak Tanggungan. Cetakan Ketiga, Jakarta : Sinar Grafika, 2018. hlm. 2
[2] Ibid. hlm. 3.
[3] Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Pasal 1 ayat (1).
[4] Op.cit. hlm. 5.
[5] Ibid. hlm. 4.
[6] Op.cit. Pasal 10.
Oleh : Erwin Kallo, SH., MH.
Erwin Kallo & Co. Property Lawyer
Sumber : erwinkallonews.com