Tradisi Ribawi Menjelang Hari Raya Idul Fitri
Oleh : Ustadz Ammi Nur Baits
Dalam kajian ekonomi islam, kita diperkenalkan dengan istilah barang ribawi (ashnaf ribawiyah). Dan barang ribawi itu ada 6: emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma, dan garam.
Keenam benda ribawi ini disebutkan dalam hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai” (HR. Muslim nomor 4147).
Emas dan Perak diqiyaskan dengan kelompok pertama adalah MATA UANG dan semua alat tukar. Seperti uang kartal di zaman kita.
Bur, Sya’ir, Kurma, & Garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras, jagung, atau thiwul, dsb..
Aturan Baku yang Berlaku :
Dari hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ketentuan
Pertama, Jika tukar menukar itu dilakukan untuk barang yang sejenis,
Ada 2 syarat yang harus dipenuhi, WAJIB SAMA dan TUNAI. Misalnya: emas dengan emas, perak dengan perak, rupiah dengan rupiah, atau kurma jenis A dengan kurma jenis B, dst. dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, harus SAMA takaran dan ukurannya serta TUNAI..
Kedua, jika barter dilakukan antar barang yang berbeda, namun masih satu kelompok,
syaratnya satu: WAJIB TUNAI, Misal: Emas dengan perak. Boleh beda berat, tapi wajib tunai. Termasuk rupiah dengan dolar. Sama-sama mata uang, tapi beda nilainya. Boleh dilakukan tapi harus TUNAI..
Ketiga, jika barter dilakukan untuk benda yang beda kelompok,
Tidak ada aturan khusus untuk ini. Sehingga boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Misalnya, jual beli beras dengan dibayar uang atau jual beli garam dibayar dengan uang. Semua boleh terhutang selama saling ridha.
Tukar menukar uang receh yang menjadi tradisi di masyarakat kita, dan di situ ada kelebihan, termasuk riba. Rp 100rb ditukar dengan pecahan Rp 5rb, dengan selisih 10rb atau ada tambahannya. Ini termasuk transaksi riba. Karena nilainya tidak sama, meskipun dilakukan secara tunai.
Karena rupiah yang ditukar dengan rupiah, tergolong tukar menukar yang sejenis, syaratnya ada dua, yaitu HARUS sama nilai dan tunai. Jika ada tambahan, hukumnya riba.
Bagaimana jika itu dilakukan saling ridha? Bukankah jika saling ridha menjadi diperbolehkan. Karena yang dilarang jika ada yang terpaksa dan tidak saling ridha.
Dalam transaksi haram, sekalipun pelakunya saling ridha dan ikhlas, tidak mengubah hukum. Karena transaksi ini diharamkan bukan semata terkait hak orang lain. Tapi dia diharamkan karena melanggar aturan syariat.
Transaksi yang ada di pinggir jalan itu sangat jelas transaksi antar SESAMA PEMILIK UANG, bukan antara orang suruhan dengan penukar uang, yang mana jika sesama PEMILIK UANG maka syaratnya wajib TUNAI dan SAMA JUMLAHNYA.. tapi fakta di lapangan tersebut tetap ada tambahan di salah satu pihak dengan alasan jasa, itulah letak ribanya..
Solusinya, anda suruh orang untuk menukarkan uang ke bank, kemudian kasih ia upah.. akad anda dengan orang suruhan jelas akad volume kerja (menukarkan uang ke bank), sehingga dibolehkan diberikan upah atau ijaroh, dan yang tukar menukar uang hakekatnya anda dengan bank, yang mana tunai dan sama jumlahnya atau tidak ada tambahan..
Sekuat mungkin jaga diri dari dosa riba, 1 dari 7 dosa yang membinasakan.. naudzubillah..
Wallahu’alam..