Tragedi Mahkamah Konstitusi
Oleh : M. Din Syamsuddin
Bismillahirrahmanirrahim…
Pertama, Seandainya tuduhan seorang pengacara bahwa Mahkamah Konstitusi mengubah keputusannya sendiri (dari apa yg dibacakan pada persidangan dengan apa yg disiarkan di Website) terbukti, maka itu merupakan tragedi bahkan nestapa penegakan hukum di negeri yg berdasarkan hukum, Indonesia. Benteng teratas dan terakhir penegakan hukum melanggar hukum itu sendiri.
Kedua, Saya sendiri sudah lama kehilangan kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi. Keputusan MK tentang gugatan terhadap hasil Pemilihan Presiden 2019 mengusik rasa keadilan karena bukti-bukti pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif tidak didalami apalagi dalam konteks sifat Pemilu/Pilpres jujur dan adil. Meninggalnya 700-an Petugas TPS tidak disentuh dan dijadikan pertimbangan.
Ketiga, Bahkan sikap Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan _judicial review_ oleh PP Muhammadiyah terhadap tiga Undang-Undang (1. UU No. 24/1999 ttg Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, 2. UU No. 30/2009 ttg Tenagakelistrikan, dan 3. UU No. 1/1967 ttg Penanaman Modal Asing) yg dinilai merugikan negara dimanipulasi oleh MK.
Dikatakan dimanipulasi karena pendaftaran judicial review ketiga Undang-Undang tersebut pada Tahun 2014 dinyatakan kemudian oleh pihak MK tidak ada (tidak terdaftar sehingga tidak dibahas). Hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa:
a. Bahwa Tim Advokat PP Muhammadiyah waktu itu nyata-nyata dan terbukti di depan mata saya sendiri
melakukan pendaftaran di loket MK.
b. Ketua MK waktu itu Prof. Dr. Arief Hidayat, SH, MH bahkan menyilakan kami pada hari pendaftaran
melakukan Konperensi Pers disebuah ruangan MK. Tapi beberapa waktu (sekitar setahun kemudian) beliau
menyampaikan kepada saya bahwa pendaftaran gugatan tidak ada.
Keempat, Kami sudah menyimpan kecurigaan bahwa gugatan PP Muhammadiyah tersebut tidak akan dibahas karena saat PP Muhammadiyah beberapa waktu kemudian beraudiensi kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara (dalam rangka Muktamar Muhammadiyah 2015 dan menyampaikan perihal gugatan terhadap ketiga Undang-Undang tersebut), Presiden Joko Widodo yg menerima kami dengan seragam militer mengatakan : “tapi gugatan terhadap ketiga Undang-Undang tersebut tidak tepat waktu”.
Pernyataan tersebut menimbulkan kecurigaan bahwa Pemerintah melakulan intervensi terhadap penegakan hukum dan terbukti kemudian bahwa MK tidak cukup mandiri dengan tidak memproses gugatan PP Muhammadiyah bahkan berbohong dengan mengatakan bahwa tidak ada pendaftaran gugatan tersebut.
Kelima, Kedua fakta di atas (gugatan seorang pengacara tentang pengubahan frasa dalam keputusan dan kesaksian saya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah (2005-2015), membawa kesimpulan dan dugaan bahwa MK gagal menjadi penegak hukum tertinggi dan terakhir. Jika ini berlanjut terutama dalam penetapan hal strategis semisal ttg Pemilu dan Pilpres maka akan menimbulkan kerusakan legal-struktural, yg potensial membawa malapetaka dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Keenam, Kendati demikian, saya tidak sepakat jika dilakukan generalisasi terhadap segenap Hakim Mahkamah Konstitusi, karena saya mengetahui cukup ada Hakim MK yg berintegritas, yg tidak _hubbud dunya wa karahiyyatul maut_ (Cinta dunia dan takut mati), dan mereka menyadari ada Hakim Tertinggi (_Ahkamul Hakimin_) di Hari Pembalasan nanti.
M. Din Syamsuddin
(Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015 dan Pemrakarsa Jihad Konstitusi)
Sumber: kabarsiyasah.com