Bismillah…
Allahumma sholli ala Muhammad, yaa Robbi sholli alaihi wa sallim. Robbi farfa’na bi barkatihim, wahdinal husna bi hurmatihim.
Saya ucapkan dulu “innalilahi wainna ilahi rojiun.” Ustadz Yahya Waloni, nama yg tdk asing lagi. Ia keras, tanpa kompromi. Banyak yg membencinya, namun tak sedikit mencintainya. Semua itu telah berakhir. Tepat seminggu ia telah tiada meninggalkan kita selamanya. Kisah wafatnya ustadz ini banyak disambut dgn ucapan, “Subhanallah!”
Mari kita simak perjalanan hidup beliau sambil memanjatkan doa utknya.
Langit Makassar siang itu tdk hanya mendung. Ia seperti berselimut kabut duka yg enggan bergerak. Awan menggantung malas, seolah menunggu satu jiwa mulia ditarik dari bumi ke pelukan langit. Di Masjid Darul Falah, Minasa Upa, khutbah Jumat dimulai seperti biasa. Tapi tdk ada yg tahu bahwa khutbah itu akan menjadi khutbah terakhir dari seorang pria yg hidupnya adalah perpaduan dari pertobatan, perjuangan, kontroversi, dan keberanian langka. Ustadz Yahya Waloni berdiri di atas mimbar, tepat pukul 12.30 WITA, menyampaikan pesan tentang tauhid dgn suara lantang seperti biasanya. Tdk ada tanda bahwa detak jantungnya sedang berpacu menuju ajal. Tdk ada tanda bahwa tubuh yg tampak tegar itu akan rebah di atas tempat suci, menjadi tubuh tak bernyawa dlm hitungan menit.
Ia tiba pagi hari, setelah sebelumnya mengisi khutbah Idul Adha di pusat Kota Makassar. Energinya tampak biasa saja, wajahnya tenang, bahkan sempat bersenda gurau dgn beberapa pengurus masjid. Tapi malaikat maut sudah menulis jadwalnya hari itu. Ketika khutbah masuk ke bagian kedua, suaranya mulai mengecil. Bukan seperti orang lelah, tapi seperti seseorang yg mulai ditarik dari dunia secara perlahan. Lalu sebelum doa penutup terucap, tubuh itu jatuh. Tiba². Membentur mimbar dgn bunyi samar yg membuat jamaah tercekat. Tdk ada yg tertawa. Tdk ada yg panik berlebihan. Yg ada hanya kesunyian yg menjerit, lalu tangisan yg pecah.
Pukul 13.00 WITA, ia dilarikan ke rumah sakit terdekat. Tapi semua usaha menjadi sia². Jantung itu telah berhenti. Suara itu telah diam. Ia wafat dlm keadaan suci, dlm posisi mulia, saat menunaikan ibadah yg terhormat. Jenazahnya lalu dibaringkan di samping mimbar. Beberapa jamaah mendekat, ada yg mencium keningnya, ada yg hanya duduk terpaku. Wajahnya teduh. Tdk menakutkan. Seolah tidur, tapi bukan tidur biasa, melainkan perpisahan yg menggetarkan.
Yahya Yopie Waloni lahir pada 30 November 1970 di Manado, Sulawesi Utara, dari keluarga Kristen Minahasa. Ia mengabdi dlm dunia Kristen selama puluhan tahun. Ia adalah rektor di Sekolah Tinggi Theologia Eben-Haezer, bergelar doktor dari Institut Theologia Oikumene Imanuel Manado. Ia pernah menjadi pengkhotbah yg dihormati, lalu, dgn keberanian yg sangat langka, memutuskan masuk Islam bersama istrinya Lusiana (yg kemudian menjadi Mutmainnah) pada 11 Oktober 2006 di Tolitoli, Sulawesi Tengah. Keputusan yg memutus sejarah keluarganya. Keputusan yg tdk kembali.
Setelah syahadat itu, hidupnya berubah. Ia menjadi dai yg tdk biasa. Ia tdk punya latar belakang pondok, tapi ceramahnya tentang tauhid dan perbandingan agama mengguncang banyak majelis. Ia tdk lembut, tapi jujur. Ia tdk manis, tapi penuh keyakinan. Ia pernah dipenjara, pada 26 Agustus 2021. Lima bulan ia jalani di balik jeruji, hingga bebas pada 31 Januari 2022. Ia tdk kapok. Ia tdk menyesal. Ia terus berdakwah, seakan waktu tak penting lagi baginya.
Kini, ia wafat di tempat yg paling dicintainya, mimbar. Di waktu paling sakral, Jumat. Dlm ibadah paling mulia, khutbah. Ini bukan kebetulan. Ini bukan kecelakaan. Ini karunia. Jenazahnya akan diterbangkan ke Jakarta, tapi sejatinya jiwanya sudah lebih dulu diterbangkan ke tempat yg tak terjangkau kamera, rating, atau like. Surga mungkin sudah lama menunggunya.
Kita yg tinggal, hanya bisa menangis. Bukan hanya karena ia tiada, tapi karena kita tahu, sedikit sekali manusia yg hidup dan wafat seperti itu.***
By: A.W