Jakarta Selatan – Saya memaknai hari Kartini ini dengan ucapan syukur kepada Allah SWT, karena telah diberikan sosok seorang wanita seperti RA Kartini yang memperjuangkan perempuan Indonesia. Dengan adanya sosok Kartini mungkin tidak ada wanita seperti saat ini di Indonesia yang bisa sekolah tinggi.
Seperti halnya saya, walaupun S1 saya selesai dengan umur sesuai standar, tetapi ketika S2 waktu saya bekerja tahun 2000 di bank Nusa sebagai Vice President dan kemudian bank Nusa, Bank Take Over (BTO) ke bank Danamon, sehingga saya terpaksa keluar dari karir saya sebagai seorang banker dan beralih ke profesi lain sebagai seorang lawyer.
Kalau bukan karena R.A. Kartini mana mungkin di umur lebih dari 40 tahun saya bisa sekolah lagi, meng-ambil S2 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Namun, karena membaca buku sejarah R.A. Kartini, saya termotivasi untuk meneruskan sekolah saya sampai S2 dan terus belajar, dan belajar mengambil kursus kursus untuk menjadi seorang advocat, menjadi seorang Konsultan Pasar Modal dan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual.
Saya beruntung punya suami yang mendukung untuk tetap belajar, mengembangkan diri dan terus berkarya.
Kebetulan saya ke beberapa daerah karena pernah jadi caleg untuk Dapil Tasikmalaya dan Garut kurang lebih 11 tahun yang lalu. Saya cukup prihatin melihat ketika itu belum adanya kesetaraan antara pria dan wanita artinya wanita masih dilihat,” ah Maneh mah cicing wae di Imah,” masih dianggap wanita harus mengurus rumah, anak dan suami termasuk masak, membersihkan rumah dan sebagainya. Ada juga beberapa relawan perempuan yang ingin membantu ketika itu namun para suami mengatakan,” sudahlah kamu gak usah ikut-ikutan, itu urusan lagi-laki, “ ujarnya.
Jadi menurut saya ketika 11 tahun yang lalu kesetaraan gender itu masih belum terlihat (menurut pendapat saya), tetapi pada Agustus 2 (dua) tahun lalu saat memberikan pencerahan kepada para wanita mengenai pentingnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual khususnya Hak Merek, di daerah Yogyakarta saya melihat para audience dikumpulkan di satu aula yang terdiri dari 100 orang. Itu kebanyakan para wanita. Mereka terlihat sangat antusias mendengarkan pemaparan saya dan juga banyak pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mereka.
Ternyata mereka membutuhkan pencerahan tentang perlindungan hukum. Banyak dari mereka yang hadir adalah pedagang-pedagang wanita dan Alhamdulillah acara ini selesai sebelum waktu Magrib. Ini berarti para perempuan tersebut diperbolehkan untuk berdagang oleh suami atau ayah mereka dan boleh juga keluar sampai sore hari. Itu artinya ada kesetaraan dengan laki-laki.
Seperti contoh yang saya tahu ketimpangan dalam kasus perceraian yang saya tangani beberapa waktu lalu. Ketimpangan yang saya lihat bahwa dalam lima perceraian yang saya tangani itu, tiga diantaranya adalah orang-orang yang suaminya tidak bekerja dan yang mencari nafkah adalah istrinya. Perempuan tersebut mempunyai kedudukan tinggi atau posisi tinggi justru suaminya malahan tidak bekerja, jadi para istri ini yang menabung, mereka yang membeli apartemen, mereka juga membeli mobil sedangkan para suami kebanyakan di rumah. Seperti dalam film, “ The intern” dengan aktor (Robert de Niro dan Anne Hathaway), dimana suami sebagai “Sit at Home Husband “.
Yang bisa saya katakan, yang bisa dicontoh oleh ibu-ibu zaman now adalah semangat Ibu RA Kartini. Coba perhatikan perjalanan RA Kartini, dia tetap mengurus suami dan rumah tangganya namun ia tetap juga ada waktu untuk Me time. Zaman Now, Me Time itu ke salon, ke Café, Hang Out. Me Time Zaman RA Kartini bukan ke salon tapi dia menulis. Kondisi yang ditinggalkan oleh RA Kartini menurut saya adalah semagat untuk tetap berkarya. “ Saya bersyukur menikah dengan pria yang sangat pengertian, orang tua, mertua dan anak-anak yang selalu mendukung saya, “ ungkap Sjahnaz .
Memang 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu tidaklah cukup. Oleh karena itu membagi waktu sangatlah penting dan harus dibuat seefisienmungkin. Contoh untuk berkarya carilah kantor dekat rumah sehingga tidak membuang waktu berjam-jam di kemacetan jalan. Spend quality time dengan keluarga, walau hanya beberapa jam namun kita benar-benar fokus, berikan perhatian sepenuhnya dengan keluarga.
Oleh karenanya, kita sebagai perempuan tidak boleh melupakan kodrat kita sebagai perempuan, yaitu sebagai ibu rumah tangga mengurus suami, anak –anak dan orang tua kita.
Walaupun setinggi-tingginya karier kita, tetap sebagai perempuan jangan melupakan tanggungjawab dan kewajiban kita tersebut. Itulah yang diperankan oleh seorang ibu yang bernama RA Kartini.
Idola saya adalah pertama Ibu saya sendiri yang mempunyai persamaan dengan RA Kartini, Ibu saya lahir 23 April 1935 dan bernama RA Sumartini. Beliau smart, gaul, cantik, penuh perhatian kepada keluarga, pandai memasak, pandai mengurus rumah tangga, pandai bersosialisasi, pandai berdandan, pandai mengaji, pandai mengurus suami, bapak Teuku Mohamad Zahirsyah, pandai mengurus ketiga anaknya yakni Tjut Sjahnaz, Tjut Sjahrain, dan Tjut Sjahrifa.
Kedua, sepupu saya Tjut Zuraida Hidayat . Beliau 70 tahun menikah dengan dokter Hidayat Danu Kusuma, namun sebagai wanita Aceh mampu menjadi seorang Istri yang beradaptasi dengan adat – istiadat Jawa Barat. Mampu menjalankan usaha yang ditinggalkan suaminya dengan sangat baik dan tetap terlihat kereen di usia 70 tahun. Ketiga Susi Pudjiastuti, seorang menteri yang membawa pembaharuan dan kesegaran untuk NKRI.
Saya belum sukses, masih harus banyak yang diraih tapi saya belajar dari ayah saya. Yang pernah menjabat sebagai Dewan Gubernur Bank Indonesia dan Duta Besar untuk Benelux Countries, yang saya terapkan untuk mencapai sukses yaitu kerja keras dan berdoa, ingat selalu kepada Yang Maha Besar Allah SWT, selalu mawas diri, be yourself, jangan sombong dengan apa yang telah diraih karena semua bukan milik kita, tetap utamakan keluarga namun harus ada me time.
HMD www.faktareview.com