Beberapa tahun belakangan, saya heran dengan maraknya wisuda yang banyak terjadi di acara kelulusan atau pelepasan siswa-siswi TK, SD, SMP, dan SMU.
Namun di akhir tahun pelajaran ini, heran itu berubah menjadi risih-resah, saat anak ketiga minta toga lengkap dengan jubahnya untuk acara wisuda kelulusannya di jenjang Sekolah Dasar.
Mungkin bagi sebagian orang, fenomena ini adalah hal yang biasa, wajar, dan bahkan berdalih kebebasan, senang-senang, atau kepentingan foto-foto semata.
Tapi bagi saya, ini aneh.
Aneh, melihat anak saya yang baru menempuh sejenjang dari sekian panjang deretan jenjang pendidikan Indonesia hari ini sudah memakai toga.
Aneh dan memprihatinkan, melihat anak-anak kecil bermake up tebal dan berhigh-hell. Ini saya lihat di banyak acara seperti drumb band, gerak jalan, lomba-lomba dll, meluruhkan segala kepolosannya.
Aneh, karena tanpa tau siapa yang memulai dan atas alasan apa, banyak lembaga pendidikan yang mengekor turut latah mengadakannya.
Aneh, karena anak-anak kecil itu, tentu saja belum tau apa makna wisuda. Tidak adil rasanya jika anak-anak tersebut tidak dijelaskan apa fungsi dan alasan mereka harus memakai toga.
Aneh, aneh, aneh.
Karena sesungguhnya warna hitam toga itu menyimbolkan misteri kegelapan yang berhasil dikalahkan oleh wisudawan/ti sewaktu diperkuliahan.
Karena pada topi perseginya, sudut-sudutnya melambangkan bahwa seorang sarjana dituntut untuk berpikir rasional dan memandang segala sesuatu dari berbagai sudut pandang. Jangan sampai sudah menyandang status sarjana tapi pola pikirnya masih sempit.
Karena makna pemindahan kuncir toga dari sebelah kiri ke kanan adalah simbol dari telah selesainya materi, teori dan arahan yang diberikan oleh dosen untuk selanjutnya masuk ke dunia baru, yaitu dunia aplikasi dan pengamalan ilmu yang telah didapat.
Belum lagi makna tali dan tassel pada topi toga yang setiap guru yang sarjana pasti tahu.
Semuanya tidak sesuai dengan kelulusan jenjang sekolah dasar atau menengah, terlebih Paud atau TK.
Jika dulu wisuda memiliki makna yang agung dan besar karena merupakan pencapaian seseorang setelah melewati berbagai jenjang pendidikan, serta keberhasilan seseorang meraih pendidikan tinggi yang dicita-citakan,
Maka sekarang, makna wisuda tergerus seiring bertambah marak dan seringnya anak mengalami itu. Nilai dan kebanggaan wisuda sarjana kian menurun.
Dulu, wisuda berarti sarjana. Saat ini, entah.
Jikalau boleh memberi saran, ada baiknya pelaksanaan acara serupa ini dikaji ulang kemanfaatannya. Tidakkah lebih hebat jika kita libatkan siswa-siswi dalam hal persiapan acara, pementasan seni, pendekoran panggung, pembuatan photobooth yang sesuai tema kelulusan, juga sesuai usia dan jenjangnya?
Pelepasan siswa masih bisa diselenggarakan secara sakral tanpa perlu anak-anak bergaya seolah mahasiswa yang telah usai skripsi, atau sekedar mengikuti trend yang sedang viral.
Jalan mereka masih panjang. Butuh setidaknya 10 tahun ke depan untuk menggenapi gelar sarjana kebanggaan kelak setelah mereka berhasil lulus sebagai seorang maha pelajar.
Teramat besar beban yang mesti dipikul para pemakai toga. Jangan memaksakan beban itu kepada anak-anak lulusan SMU, SMP, SD, dan TK. Semoga makna toga tidak hanya menjadi sebuah filosofi, apalagi sekedar dijadikan simbol kelulusan tanpa mengerti arti, namun mampu diimplementasikan oleh para sarjana. Aamiin…
#wisuda
#wisudaSD
#wisuda_sarjana
#wisuda??
Sumber: FB Dianing