Setiap Cobaan Datang Sebuah Proses Pendewasaan Diri |

Hot News

Menakar Haji 2024, Antara Kesiapan Pemerintah Indonesia Versus Ghirah Masyarakat Oleh: Mubasyier Fatah Penulis adalah Koordinator Bidang Ekonomi Kreatif , Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) dan Bendahara Umum Pengurus Pusat Mahasiswa Ahluth Thoriqoh Al-Muktabarah An-Nahdhiyyah (PP MATAN) TAHUN 1445/2024 M adalah tahun penuh berkah bagi Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar kedua di dunia (telah terlampai Pakistan belum lama ini), melansir data yang dikeluarkan oleh World Population Review 2024. Betapa tidak, pada tahun ini Indonesia mendapat kuota jamaah haji terbesar sepanjang sejarah penyelenggaran haji Indonesia. Direktur Pelayanan Haji dalam Negeri, Saiful Mujab mengatakan awalnya pemerintah Arab Saudi menyediakan kuota untuk 221.000 jamaah. Namun, total jumlah jamaah haji Indonesia tahun ini mencapai 241.000 orang, terdiri atas 213.320 jamaah haji reguler, dan 27.680 jamah haji khusus. Pertanyaannya, bagaimana kesiapan pemerintah Indonesia untuk melayani jamaah haji yang berjumlah sangat besar itu? Atau, langkah strategis apa yang perlu dilakukan agar penyelenggaran haji tahun ini dan tahun-tahun beriikutnya berjalan efektif dan sukses? Sejatinya, kesiapan Indonesia dalam melaksanakan program haji sendiri mencakup tiga hal utama. Yaitu pertama, kesiapan Infrastruktur seperti Asrama Haji, Transportasi menuju Bandara, Terminal Keberangkatan di Bandara, dan Fasilitas Ibadah Haji. Kedua, kesiapan tata kelola, mulai dari pendataan calon jemaah haji, pendidikan dan pelayanan di asrama haji, penetapan Jadwal Keberangkatan, Sistem Manajemen dan Sistem Komunikasi. Ketiga, kesiapan Sumber Daya Manusia yang bertanggung jawab mengelola ibadah haji. Kesiapan infrastruktur Haji 2024 Menghadapi jumlah jemaah yang sangat besar Pemerintah Indonesia perlu merancang strategi dan langkah-langkah persiapan yang kongkrit, momen puncak haji 2024 menjadi yang lebih khusuk dan meriah. Terkait infrasruktur pendukung penyelenggaraan ibadah haji, Indonesia memang sudah lama melakukan persiapan. Diketahui pemerintahan Jokowi jilid I dan jilid II sekarang, sangat fokus membangun sektor infrastruktur, baik darat, laut, udara dan ‘jaringan internet’. Pembangunan infrastruktut seperti jalan raya, jalan toll, jalur kereta api, pelabuhan laut, bandara dan jaringan internet yang begitu massif selama hampir 10 tahun terakhir, sangat memudahkan mobilitas dan aktiitas komunikasi para (calon) jamah haji. Bahkan, Musim Haji 2018 lalu menjadi istimewa karena diawali dengan peresmian Terminal Haji Khusus di Bandara Sukarno Hata pada tanggal 21 Juli 2018, oleh Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla. Selain itu pemerintah menyediakan infrastruktur pendukungan pelaksanaan haji, termasuk 11 rumah sakit untuk memberikan pelayanan maksimal kepada jamaah haji, dan membangun asrama embarkasi haji. Menurut Saiful Mujab, per Mei 2024, terdapat 14 asrama haji embarkasi di seluruh Indonesia. Ke-14 asrama embarksi yang akan melayani pemberangkatan jemaah haji dimaksud adalah Embarkasi Aceh (BTJ), Medan atau Kuala Namu (KNO), Batam (NTH), Oadang (PDG), Palembang (PLM), Jakarta Pndk Gede (JKG), Jakarta Saudia (CKG SV adau JKS), Kertajati (KJT) Solo (SOC), Surabaya (SUB), Lombok (LOP), Balipapan (BPN), Banjarmasi (BDJ), dan Makasar atau Ujungpandang (UPG). Tata Kelola Ibadah Haji Dari aspek tata kelola diketahui ada enam tahapan yang harus dilalui setiap calon jemaah haji, yakni pendaftaran, daftar tunggu, kenaikan biaya keberangkatan, pelatihan, pemeriksaan kesehatan, dan pembekalan teknis umum sebelum pemberangkatan. Berdasarkan data statistik, kita mempunyai masalah yang sangat serius dalam mempersiapkan jutaan penduduk yang menunaikan ibadah haji. Memang, kita sudah memilik perangkat hukum yang mengatur tata kelola terkait pemberangkatan jemaah untuk menenuaikan ibadah haji. Kita memiliki Undang-Undang (UU) Ibadah Haji yaitu UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaran Ibadah Haji sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Pegganti UU Nomor 2 Tahun 2009 yang telah ditetapkan menjadi UU oleh UU Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Meski demikian, tahap pendaftaran calon jemaah haji kita masih terbelenggu oleh istilah yang digunakan berulang kali yaitu “menunggu dalam antrian”. Istilah “mengantri” mungkin lebih cocok menggantikan istilah ‘antrean global’ yang disebutkan dalam Statuta Haji. Pada masa kepemimpinan Soeharto istilah ini ramai diperdebatkan ketika akan giliran haji, pemerintah kemudian menerbitkan ‘surat antrean’. Memang, harus diakui bahwa daftar tunggu (waiting list) untuk calon haji reguler sangat terkait dengan musim haji yang terbatas dan adanya kuota haji yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi bagi umat Muslim Indonesia. Dari sisi biaya, setiap calon jemaah secara individu sudah berkomitmen dan menabung secara mandiri. Bahkan jemaah haji reguler seringkali mendapat kemudahan. Misalnya, setiap dua tahun berturut-turut, Kementerian Agama bersama Badan Pengelola Dana Haji Indonesia (BPKH) dan organisasi donor dan filantropi lainnya mengadakan acara grand launching keuangan pada Hari Menabung Haji Nasional biasanya dengan cek dan keringanan uang bagi calon jamaah yang telah menyelesaikan pembayaran. Terkait aspek kesehatan jemaah haji, pemerintah memang telah menyusun pedoman pelayanan. Seluruh calon jemaah haji wajib menjalani pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh komite kesehatan pusat atau di dinas kesehatan masing-masing provinsi. Untuk tahun 2024, pemeriksaan kesehatan calon jemaah haji meliputi pemeriksaan dasar, pemeriksaan penunjang, laboratorium, juga da tes kemandirian yang disebut ‘activity daily living’. Ada pula kesehatan mental dengan Self Rating Questinaire (SRQ) 20. Apabila saat pemeriksaan kesehatan, calon jemaah dalam kondisi sakit, maka tidak harus dipaksakan, tetapi bisa diberangkatkan tahun berikutnya. Meski pemerintah sudah menetapkan proseder pemeriksaan kesehatan yang ketat, banyak calon jemaah haji yang belum memahami pentingnya istithaah kesehatan jamaah haji. Padahal, istithaah kesehatan memiliki makna kemampuan jamaah haji dari aspek kesehatan yang meliputi fisik dan mental yang terukur dengan pemeriksaan. Hal ini terjadi karena calon jemaah haji tidak mendapatkan pendidikan atau sosialisasi yang memadai terkait persyaratan kesehatan ibadah haji. Terkait ini, pemerintah Indonesia memang pernah mengalami gangguan dalam pengelolaan saat Covid-19 melanda dunia pada tahun 2020. Namun, setelah wabah Covid-19 berangsur-angsur redah, pemerintah Indonesia kembali giat mempersiapkan program haji. Setelah Covid-19, Pemerintah Indonesia memang ingin mempercepat pembentukan dewan haji yang lebih siap dan fokus menjalankan tata kelola haji. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, usai Kajian Akuntabilitas (SPI-3) Kementerian Agama Tahap III, salah satu tugas yang ditetapkan adalah mengembangkan sistem penyelenggaraan haji yang otonom. “Kami merancang tiga jenis jemaah haji, yaitu regular, turn-back (thala’in), dan out-of-service-extender. Sedangkan pengaturan pendelegasian haji dalam satu tahun belum dirancang,” jelas Menteri Qumas, Sabtu, 6 November 2021 lalu. Pada tahun 2024, Indonesia berencana mengelola program haji secara lebih efektif. Meski rencana tersebut telah diumumkan oleh Menteri Agama, tetapi kepada publik belum banyak informasi mengenai kesiapan Indonesia. Yang jelas, supaya dapat mengelola dan menyediakan pelayanan prima terhadap tiga jenis jemaah haji tersebut, pemerintah Indonesia perlu melakukan peningkatan kapasitas dan keandalan negara, agar seluruh kebijakan dan aturan hukum dijalankan dengan integritas penuh, dengan itikad baik, dan tanggung jawab hukum dalam rangka pelayanan nasional, yang disebut tata pemerintahan yang baik (good governance). Tata kelola haji sangat menekankan aspek manajemen dan komunikasi. Terkait ini, pemerintah perlu ingat bahwa yang perlu dijadikan landasan untuk pengelolaan yang efektif dalam keberangkatan haji, aspek infrastruktur fisik seperti asrama embarkasi haji berikut fasilitas transportasi darat dan udara saja, melainkan memanfaatkan infrastruktur telekomunikasi dan ‘intrastruktur langit’ atau jaringan internet. Pada prinsipnya, pengelolaan haji menekankan pelayanan kepada jemaah haji melalui komunikasi antarpribadi yang mengacu pada proses komunikasi timbal balik. Dalam era informasi digital seperti sekarang, komunikasi antarpribadi dalam rangka pengelolaan haji dapat didukung oleh pemanfaatan teknologi informasi dan jaringan internet. Hal ini terutama untuk mengatasi situasi dimana jemaah haji berada di tempat yang sulit dijangkau secara fisik. Namun, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan alat telekomunikasi digital dan jaringan internet tidak berjalan efektif, karena rata-rata para jemaah haji sudah berusia di atas 40 tahun dan tidak terbiasa memanfaatkan perangkat teknologi baru tersebut. Visa Kuota dan Non Kuota Menilik kuota haji yang diperoleh Pemerintah Indonesia tahun ini sebagaimana di atas (213.320 jamaah haji reguler, dan 27.680 jamaah haji khusus), dibandingkan semakin panjangnya waktu antrian dari tahun ke tahun, menimbulkan problem tersendiri di tengah meningkatnya ghirah (animo yang disertai kesadaran keagamaan) masyarakat yang meningkat untuk segera menyempurnakan Rukun Islamnya. Belum lama ini Kementrian Agama Indonesia dan Perwakilan Kementrian Haji dan Umroh Kerajaan Arab Saudi, melakukan release media (05/05/2024) yang menyatakan bahwa yang bisa menyelenggarakan ibadah haji hanya jamaah yang memiliki visa haji dan atau visa undangan Kerajaan Arab Saudi (Mujamalah) dan menghimbau kepada masyarakat untuk tidak tergiur dengan tawaran-tawaran keberangkatan haji menggunakan visa non haji seperti visa turis, visa petugas haji, visa ummal, visa ziarah hingga visa multiple. Namun yang perlu disadari bersama adalah adanya gap antara kuota haji yang tersedia, panjang antrian tunggu dan ghirah masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji, khususnya bagi masyarakat yang memiliki kemampuan financial, himbauan yang dikeluarkan oleh pemerintah seakan tidak memiliki makna dan sekaligus ceruk bisnis yang dimanfaatkan oleh operator-operator haji dan travel baik di dalam negeri maupun yang ada di Arab Saudi sana. Bagi masyarakat yang terpenting adalah memiliki visa untuk bisa masuk ke negara Arab Saudi dan kepastian yang diberikan oleh operator travel haji dalam negeri dan muassah haji di Arab Saudi dalam bentuk ijin melaksanakan haji — Tasreh Haji — sehingga bisa memasuki dua kota suci Makkah – Madinah dan hadir di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Penting menjadi perhatian bagi Pemerintah Indonesia terhadap seluruh jamaah haji Indonesia yang bisa memasuki Arab Saudi baik melalui visa haji kuota maupun visa non kuota, adalah memberikan perlindungan dan pelayanan kepada jamaah haji Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 28 D ayat (1), juga dalam Undang-undang RI Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri pada bab V pasal 18 – 24. Kuncinya pada SDM Tanpa mengabaikan aspek-aspek lain, kesiapan dan kunci sukses penyelenggaraan haji adalah sumber daya manusia (SDM). Memang sudah sejak lama pemerintah melalui Kementerian Agama berupaya meningkatkan kompetensi dan profesionalisme SDM, baik dari kalangan Kemenag sendiri maupun pihak swasta seperti biro perjalanan, yang mendapat amanah untuk ikut menyelenggarakan haji. Salah satu langkah strategis yang ditempuh Kementerian Agama untuk meningkat

Rupiah Capai Rekor Terburuk Sejak Krismon 1998

Rupiah terjun bebas menyentuh level sikologis Rp 16.280 per dollar AS. Bahkan paling buruk sejak era krismon, tepatnya 17 Juni 1998. Saat itu, rupiah tembus Rp16.800 per dolar AS.

Mirisnya, sampai saat ini, otoritas moneter (BI) masih sibuk bercanda. Sama sekali belum mengeluarkan satupun regulasi terkait batas undervalue (batas bawah-titik terendah) jatuhnya Rupiah sebagai indikator darurat nilai tukar agar segera dilakukan intervensi substantif.

BI memang sama sekali tidak berdaulat, tidak punya kuasa menentukan batas bawah jatuhnya Rupiah karena tersandera kebijakan liberalisasi sistem devisa dan lalu lintas nilai tukar.

Sesuai amanat UU No 24. Tahun 1999, Rezim devisa telah diubah dari tertutup menjadi terbuka. Sementara sistem nilai tukar diubah dari “fixed exchange rate” menjadi “free floating exchange rate”.

Perubahan ke rezim devisa terbuka, menjadikan posisi nilai tukar rupiah diukur berdasarkan dollar AS. Dimana setiap volume nilai tukar, naik-turunnya ditentukan berdasarkan seberapa besar dollar AS yg masuk dan keluar.

Liberalisasi rezim devisa dan sistem nilai tukar seperti ini, memandulkan kekuatan kebijakan makroprudensial dan memutus kedaulatan negara dalam menentukan dan mengendalikan stabilitas nilai tukar.

Rumusnya menjadi, seberapa besar modal asing berupa dollar AS masuk, cadangan devisa bertambah dan rupiah kuat. Sebaliknya, ketika modal lari keluar, cadangan devisa berkurang dan rupiah jatuh.

Inilah salah bentuk “kegoblokan unfaedah” kekuasaan yg secara suka rela menerima paket liberalisasi keuangan pada momen reformasi 1998 lalu. Konsekuensinya, otoritas moneter dan otoritas fiskal hanya bisa pasrah menonton kejatuhan Rupiah, ketika ada goncangan eksternal dan internal yg mengakibatkan modal lari keluar tanpa bisa melakukan intervensi pasar yg signifikan.

Faktanya, ekonomi dunia saat ini sedang mengalami turbelensi hebat lewat momen paling mutakhir: konflik saling serang Iran vs Israel.

Memanasnya konflik turut menyerang sikologis pasar dunia. Investor global, secara dominan menarik modalnya dari negara-negara emerging market dan mengalihkannya untuk berinvestasi di tempat yg lebih aman.

Dalam keadaan darurat global, hanya ada dua tempat paling aman untuk berinvestasi. Pertama, mengalihkan investasi dalam bentuk “safe haven”, dollar AS. Kedua, menempatkan di surat berharga pemerintah amerika atau AS Treasury.

Terbukti, Bloomberg Dollar Spot Index, mencatat, pada 18 April, Dollar AS menguat 4% terhadap sejumlah mata uang utama dunia. Hal ini dipicu pelarian modal global dari negara dunia, terutama emerging market sebagai alternatif bagi inbestor untuk “lindung nilai”.

Dampaknya, hampir semua mata uang milik kelompok perekonomian terbesar di dunia, G20, mengalami depresiasi seiring menguatnya Dollar AS. Misalnya, mata uang lira Turki, anjlok sebanyak 8,8% sejak awal tahun. Penyusutan juga dialami mata uang yen Jepang sebanyak 8% dan Won Korea Selatan anjlok 5,5%.

Menguatnya USD juga berdampak terhadap dolar Australia, dolar Kanada, dan mata uang euro yang masing-masing melemah sebesar 4,4%, 3,3% dan 2,8%.

Indonesia pun sama, per tanggal 20 April, Setelah serangan balik Israel ke Iran, modal lari keluar mengakibatkan jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke zona merah. IHSG jatuh 1,11% ke 7.087,82.

Di tengah kepanikan tersebut, credit default swap (CDS) Indonesia 5 tahun per 18 April 2024 sebesar 76,4 basis poin (bps). Turun dibandingkan 12 April 2024 sebesar 77,24 bps.

Dampaknya, berdasarkan data Jisdor Bank Indonesia, Jumat (19/4), rupiah jatuh dan ditutup Rp 16.280 per dolar AS. Kurs ini mendekati rekor terparah sejak krisis moneter (krismon) di pemerintahan Soeharto, tepatnya 17 Juni 1998. Saat itu, rupiah tembus Rp16.800 per dolar US.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah dan otoritas moneter ?

Mereka hanya sibuk bermain sandiwara, menyalahkan keadaan konflik di Timur Tengah. Tanpa bisa melakukan langkah yg signifikan untuk menahan pelarian modal dan jatuhnya rupiah. Sambil membangun alibi, semua negara juga mengalami hal yg sama. Pemerintah seolah mengajak rakyat untuk pasrah menerima kejatuhan Rupiah sambil menyalahkan keadaan eksternal.

 

Dasar kacung. Pemerintah “enjoy the power”, “power and glory”. Malas dan tidak kreatif.

Bayangkan, sampai dilevel sikologis jatuhnya Rupiah se-horor ini, BI hanya mengandalkan instrumen Suku Bunga Kebijakan (BI Rate) 6,00% sebagai solusi yg per hari ini, pendekatan tersebut terbukti gagal.

Bank Indonesia (BI), berdasarkan data transaksi 16 – 18 April 2024, dengan mengandalkan BI Rate (Suku bunga kebijakan) 6,00%, terbukti tidak mampu menahan pelarian modal ke luar. Pada periode 3 hari tersebut, Asing tercatat jual neto (net sell) sebesar Rp 21,46 triliun

Rinciannya, net sell Rp 9,79 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), jual neto Rp 3,67 triliun di pasar saham, dan jual neto Rp 8 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Secara kumulatif, sejak awal tahun 2024 sampai 18 April 2024, asing net sell alias jual neto sekitar Rp 38,66 triliun di pasar SBN. Mereka net buy  (beli neto) Rp 15,12 triliun di pasar saham dan beli neto Rp12,90 triliun di SRBI. Artinya, mines. Lebih banyak yg lari dari pada masuk. Eksesnya cadangan Devisa berkurang, nilai tukar Rupiah jatuh.

Lalu guna apa mengandalkan kebijakan BI Rate 6,00% itu ?

Ditelisik ke belakang, faktor jatuhnya rupiah bervariatif. Tapi pemerintah cenderung hanya menyalahkan Konflik Iran vs Israel untuk menutupi kegagalan atas keberlakuan kebijakan neoliberal yg membuat mereka tersandera, hilang kedaulatan atas kesanggupan kendali nilai tukar.

Bukankah otoritas moneter bisa melakukan operasi pasar dipasar uang dan pasar valuta asing secara terintegrasi ?

Sudah dilakukan, hanya saja tidak efektif karena jika terus ditingkatkan, cadangam devisa akan terus berkurang. Fungsi utama cadangan devisa adalah mengawal stabilitas Rupiah. Jika cadangan devisa terus berkurang, maka rupiah akan merosot lebih dari yg terjadi saat ini.

Sebelum separah ini, sejak awal tahun, Rupiah juga ditekan sentimen kebijakan moneter The Fed, Bank Sentral Amerika. The Fed sampai hari ini masih menunda keberlakuan suku bunga murah. Federal Fund Rate (FFR) masih ditahan di level 5,25-5,55%.

Suku bunga yg tinggi, mengakibatkan yield obligasi atau imbal hasil investasi surat berharga Amerika tetap tinggi di level 4,5-4,7%. Masih menjanjikan imbals hasil investasi yg stabil dan tinggi bagi investor global.

Hal inilah yg menjadi momok bagi emerging market, termasuk Indonesia. Investor global, terdorong untuk menarik uangnya dari emerging market termasuk Indonesia untuk berinvestasi, mencari untung besar di pasar uang dan pasar modal Amerika.

Lalu apa yg bisa dilakukan negara emerging market, termasuk Indonesia ?

Indonesia harus bisa menciptakan ketertarikan terhadap investor global agar tetap mau bertahan. Prinsip investasi adalah untung sebesar-besarnya. Maka pilihan paling tepat adalah naikan suku bunga agar imbal hasil investasi kepada para investor juga naik.

Masalahnya, dengan BI Rate 6,00%, Imbal hasil obligasi Indonesia sudah terlalu tinggi. Misalnya Yield Surat Berharga Negara tenor 10 tahun sudah mencalai rekor tertingginya 6,9-7,0%.

Kalau dinaikan lagi demi menahan agar investor tidak kabur, maka akan bertambah beban kewajiban pembayaran bunga utang dalam APBN. Karena setiap dana investasi yg masuk SBN, tercatat sebagai utang yg pelunasannya dalam bentuk bunga utang, dibayar pemerintah pakai APBN.

Coba liat, berapa beban estimasi pembayaran bunga utang APBN 2024 ? RP 493,7 triliun. Sebesar itu, hanya untuk bunga utang. Merdeka !!!

Besarnya beban pembayaran cicilan bunga utang ini, pada faktanya, saat ini turut mendorong kejatuhan nilai tukar. Bank Indonesia dalam release No.26/68/DKom mencatat, cadangan devisa pada awal April, turun menjadi Rp  140,4 triliun dari Rp 144,0 miliar pada akhir Februari.

Taukah anda, Bank Indonesia dengan bangganya menyebut, penurunan cadangan devisa sebesar Rp 4,4 triliun selama sebulan, dominannya untuk pembayaram cicilan utang luar negeri Indonesia.

Jadi inilah musababnya, rantai setan liberalisasi ekonomi, terutama di sektor keuangan menjadi sumber dari segala petaka ekonomi, terutama jatuhnya nilai tukar. Bank Indonesia dan pemerintah hanya bisa nonton, pasarah dan mengutuk goncangan eksternal tanpa bisa melakukan pendekatan substantif demi menahan jatuhnya Rupiah.

Maka seiring dengan langkah The Fed menahan kebujakan FFR tinggi, memanasnya konflik Iran vs Israel, tingginya pembayaram bunga utang, maka rupiah akan terus terperosok, boleh jadi melampaui kejatuhan di periode 1998.

Jika bank indonesia dan pemerintah tidak berhenti bersandiwara dan menangani persoalan ini dengan baik, bukan mustahil hal itu terjadi. Rakyat hanya tinggal menunggu dipukul kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yg cenderung makin memiskinkan.

Terutama untuk pangan dan energi. Indonesia statusnya adalah net importir. Jatuhnya rupiah mengakibatkan naiknya harga-harga dari jalur imported inflation.

Palimg pentingnya, selain 3 faktor di atas, masih banyak kerentanan lain yg memungkinkan rupiah terus merosot ke depannya. Diantaranya, hilangnya banyak devisa akibat tingginy nilai impor komoditas strategi, semisal pangan, energi, modal, otomotif dan bahan baku.

Berikutnya persoalan rentannya neraca transaksi berjalan dan surplus perdagangan yg cenderung makin tipis. Akan kita bahas di lain waktu. (Copas)

https://www.facebook.com/share/p/UrZc8RVSYkksoXqp/?mibextid=oFDknk

Share Article:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Notice: Undefined property: stdClass::$data in /home/fakt6635/public_html/wp-content/plugins/royal-elementor-addons/modules/instagram-feed/widgets/wpr-instagram-feed.php on line 4894

Warning: Invalid argument supplied for foreach() in /home/fakt6635/public_html/wp-content/plugins/royal-elementor-addons/modules/instagram-feed/widgets/wpr-instagram-feed.php on line 5567

Berita Terbaru

  • All Post
  • Autotekno
  • Beauty
  • Berita
  • Dunia
  • Ekonomi & Bisnis
  • Foto
  • Gaya Hidup
  • ILD
  • Konsultasi
  • Lifestyle
  • Nasional
  • Olahraga
  • Opini
  • Photography
  • Redaksi
  • Sosok
  • Travel
  • Uncatagories
  • Warna
    •   Back
    • Politik
    • Hukum
    • Daerah
    • Pendidikan
    • Wawancara
    •   Back
    • Peluang Usaha
    • Entrepreneur
    •   Back
    • Fashion
    • Kesehatan
    • Travelling & Kuliner
    •   Back
    • Motivasi
    • Inspirasi
    • Training & Seminar
    • Info Warga
    • Komunitas

FAKTAREVIEW

Mengulas Fakta Dibalik Berita

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template

faktareview

Mengulas Fakta Dibalik Berita

Semoga konten-konten faktareview.com yag hadirkan bisa dinikmati, bisa memenuhi kebutuhan informasi serta bisa ikut membangun kesadaran masyarakat  menuju masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.

Terimakasih Telah Berkunjung