Rupiah terjun bebas menyentuh level sikologis Rp 16.280 per dollar AS. Bahkan paling buruk sejak era krismon, tepatnya 17 Juni 1998. Saat itu, rupiah tembus Rp16.800 per dolar AS.
Mirisnya, sampai saat ini, otoritas moneter (BI) masih sibuk bercanda. Sama sekali belum mengeluarkan satupun regulasi terkait batas undervalue (batas bawah-titik terendah) jatuhnya Rupiah sebagai indikator darurat nilai tukar agar segera dilakukan intervensi substantif.
BI memang sama sekali tidak berdaulat, tidak punya kuasa menentukan batas bawah jatuhnya Rupiah karena tersandera kebijakan liberalisasi sistem devisa dan lalu lintas nilai tukar.
Sesuai amanat UU No 24. Tahun 1999, Rezim devisa telah diubah dari tertutup menjadi terbuka. Sementara sistem nilai tukar diubah dari “fixed exchange rate” menjadi “free floating exchange rate”.
Perubahan ke rezim devisa terbuka, menjadikan posisi nilai tukar rupiah diukur berdasarkan dollar AS. Dimana setiap volume nilai tukar, naik-turunnya ditentukan berdasarkan seberapa besar dollar AS yg masuk dan keluar.
Liberalisasi rezim devisa dan sistem nilai tukar seperti ini, memandulkan kekuatan kebijakan makroprudensial dan memutus kedaulatan negara dalam menentukan dan mengendalikan stabilitas nilai tukar.
Rumusnya menjadi, seberapa besar modal asing berupa dollar AS masuk, cadangan devisa bertambah dan rupiah kuat. Sebaliknya, ketika modal lari keluar, cadangan devisa berkurang dan rupiah jatuh.
Inilah salah bentuk “kegoblokan unfaedah” kekuasaan yg secara suka rela menerima paket liberalisasi keuangan pada momen reformasi 1998 lalu. Konsekuensinya, otoritas moneter dan otoritas fiskal hanya bisa pasrah menonton kejatuhan Rupiah, ketika ada goncangan eksternal dan internal yg mengakibatkan modal lari keluar tanpa bisa melakukan intervensi pasar yg signifikan.
Faktanya, ekonomi dunia saat ini sedang mengalami turbelensi hebat lewat momen paling mutakhir: konflik saling serang Iran vs Israel.
Memanasnya konflik turut menyerang sikologis pasar dunia. Investor global, secara dominan menarik modalnya dari negara-negara emerging market dan mengalihkannya untuk berinvestasi di tempat yg lebih aman.
Dalam keadaan darurat global, hanya ada dua tempat paling aman untuk berinvestasi. Pertama, mengalihkan investasi dalam bentuk “safe haven”, dollar AS. Kedua, menempatkan di surat berharga pemerintah amerika atau AS Treasury.
Terbukti, Bloomberg Dollar Spot Index, mencatat, pada 18 April, Dollar AS menguat 4% terhadap sejumlah mata uang utama dunia. Hal ini dipicu pelarian modal global dari negara dunia, terutama emerging market sebagai alternatif bagi inbestor untuk “lindung nilai”.
Dampaknya, hampir semua mata uang milik kelompok perekonomian terbesar di dunia, G20, mengalami depresiasi seiring menguatnya Dollar AS. Misalnya, mata uang lira Turki, anjlok sebanyak 8,8% sejak awal tahun. Penyusutan juga dialami mata uang yen Jepang sebanyak 8% dan Won Korea Selatan anjlok 5,5%.
Menguatnya USD juga berdampak terhadap dolar Australia, dolar Kanada, dan mata uang euro yang masing-masing melemah sebesar 4,4%, 3,3% dan 2,8%.
Indonesia pun sama, per tanggal 20 April, Setelah serangan balik Israel ke Iran, modal lari keluar mengakibatkan jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke zona merah. IHSG jatuh 1,11% ke 7.087,82.
Di tengah kepanikan tersebut, credit default swap (CDS) Indonesia 5 tahun per 18 April 2024 sebesar 76,4 basis poin (bps). Turun dibandingkan 12 April 2024 sebesar 77,24 bps.
Dampaknya, berdasarkan data Jisdor Bank Indonesia, Jumat (19/4), rupiah jatuh dan ditutup Rp 16.280 per dolar AS. Kurs ini mendekati rekor terparah sejak krisis moneter (krismon) di pemerintahan Soeharto, tepatnya 17 Juni 1998. Saat itu, rupiah tembus Rp16.800 per dolar US.
Apa yang bisa dilakukan pemerintah dan otoritas moneter ?
Mereka hanya sibuk bermain sandiwara, menyalahkan keadaan konflik di Timur Tengah. Tanpa bisa melakukan langkah yg signifikan untuk menahan pelarian modal dan jatuhnya rupiah. Sambil membangun alibi, semua negara juga mengalami hal yg sama. Pemerintah seolah mengajak rakyat untuk pasrah menerima kejatuhan Rupiah sambil menyalahkan keadaan eksternal.
Dasar kacung. Pemerintah “enjoy the power”, “power and glory”. Malas dan tidak kreatif.
Bayangkan, sampai dilevel sikologis jatuhnya Rupiah se-horor ini, BI hanya mengandalkan instrumen Suku Bunga Kebijakan (BI Rate) 6,00% sebagai solusi yg per hari ini, pendekatan tersebut terbukti gagal.
Bank Indonesia (BI), berdasarkan data transaksi 16 – 18 April 2024, dengan mengandalkan BI Rate (Suku bunga kebijakan) 6,00%, terbukti tidak mampu menahan pelarian modal ke luar. Pada periode 3 hari tersebut, Asing tercatat jual neto (net sell) sebesar Rp 21,46 triliun
Rinciannya, net sell Rp 9,79 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), jual neto Rp 3,67 triliun di pasar saham, dan jual neto Rp 8 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Secara kumulatif, sejak awal tahun 2024 sampai 18 April 2024, asing net sell alias jual neto sekitar Rp 38,66 triliun di pasar SBN. Mereka net buy (beli neto) Rp 15,12 triliun di pasar saham dan beli neto Rp12,90 triliun di SRBI. Artinya, mines. Lebih banyak yg lari dari pada masuk. Eksesnya cadangan Devisa berkurang, nilai tukar Rupiah jatuh.
Lalu guna apa mengandalkan kebijakan BI Rate 6,00% itu ?
Ditelisik ke belakang, faktor jatuhnya rupiah bervariatif. Tapi pemerintah cenderung hanya menyalahkan Konflik Iran vs Israel untuk menutupi kegagalan atas keberlakuan kebijakan neoliberal yg membuat mereka tersandera, hilang kedaulatan atas kesanggupan kendali nilai tukar.
Bukankah otoritas moneter bisa melakukan operasi pasar dipasar uang dan pasar valuta asing secara terintegrasi ?
Sudah dilakukan, hanya saja tidak efektif karena jika terus ditingkatkan, cadangam devisa akan terus berkurang. Fungsi utama cadangan devisa adalah mengawal stabilitas Rupiah. Jika cadangan devisa terus berkurang, maka rupiah akan merosot lebih dari yg terjadi saat ini.
Sebelum separah ini, sejak awal tahun, Rupiah juga ditekan sentimen kebijakan moneter The Fed, Bank Sentral Amerika. The Fed sampai hari ini masih menunda keberlakuan suku bunga murah. Federal Fund Rate (FFR) masih ditahan di level 5,25-5,55%.
Suku bunga yg tinggi, mengakibatkan yield obligasi atau imbal hasil investasi surat berharga Amerika tetap tinggi di level 4,5-4,7%. Masih menjanjikan imbals hasil investasi yg stabil dan tinggi bagi investor global.
Hal inilah yg menjadi momok bagi emerging market, termasuk Indonesia. Investor global, terdorong untuk menarik uangnya dari emerging market termasuk Indonesia untuk berinvestasi, mencari untung besar di pasar uang dan pasar modal Amerika.
Lalu apa yg bisa dilakukan negara emerging market, termasuk Indonesia ?
Indonesia harus bisa menciptakan ketertarikan terhadap investor global agar tetap mau bertahan. Prinsip investasi adalah untung sebesar-besarnya. Maka pilihan paling tepat adalah naikan suku bunga agar imbal hasil investasi kepada para investor juga naik.
Masalahnya, dengan BI Rate 6,00%, Imbal hasil obligasi Indonesia sudah terlalu tinggi. Misalnya Yield Surat Berharga Negara tenor 10 tahun sudah mencalai rekor tertingginya 6,9-7,0%.
Kalau dinaikan lagi demi menahan agar investor tidak kabur, maka akan bertambah beban kewajiban pembayaran bunga utang dalam APBN. Karena setiap dana investasi yg masuk SBN, tercatat sebagai utang yg pelunasannya dalam bentuk bunga utang, dibayar pemerintah pakai APBN.
Coba liat, berapa beban estimasi pembayaran bunga utang APBN 2024 ? RP 493,7 triliun. Sebesar itu, hanya untuk bunga utang. Merdeka !!!
Besarnya beban pembayaran cicilan bunga utang ini, pada faktanya, saat ini turut mendorong kejatuhan nilai tukar. Bank Indonesia dalam release No.26/68/DKom mencatat, cadangan devisa pada awal April, turun menjadi Rp 140,4 triliun dari Rp 144,0 miliar pada akhir Februari.
Taukah anda, Bank Indonesia dengan bangganya menyebut, penurunan cadangan devisa sebesar Rp 4,4 triliun selama sebulan, dominannya untuk pembayaram cicilan utang luar negeri Indonesia.
Jadi inilah musababnya, rantai setan liberalisasi ekonomi, terutama di sektor keuangan menjadi sumber dari segala petaka ekonomi, terutama jatuhnya nilai tukar. Bank Indonesia dan pemerintah hanya bisa nonton, pasarah dan mengutuk goncangan eksternal tanpa bisa melakukan pendekatan substantif demi menahan jatuhnya Rupiah.
Maka seiring dengan langkah The Fed menahan kebujakan FFR tinggi, memanasnya konflik Iran vs Israel, tingginya pembayaram bunga utang, maka rupiah akan terus terperosok, boleh jadi melampaui kejatuhan di periode 1998.
Jika bank indonesia dan pemerintah tidak berhenti bersandiwara dan menangani persoalan ini dengan baik, bukan mustahil hal itu terjadi. Rakyat hanya tinggal menunggu dipukul kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yg cenderung makin memiskinkan.
Terutama untuk pangan dan energi. Indonesia statusnya adalah net importir. Jatuhnya rupiah mengakibatkan naiknya harga-harga dari jalur imported inflation.
Palimg pentingnya, selain 3 faktor di atas, masih banyak kerentanan lain yg memungkinkan rupiah terus merosot ke depannya. Diantaranya, hilangnya banyak devisa akibat tingginy nilai impor komoditas strategi, semisal pangan, energi, modal, otomotif dan bahan baku.
Berikutnya persoalan rentannya neraca transaksi berjalan dan surplus perdagangan yg cenderung makin tipis. Akan kita bahas di lain waktu. (Copas)
https://www.facebook.com/share/p/UrZc8RVSYkksoXqp/?mibextid=oFDknk