Demokrasi, Pilkada Jurdil dan Kesejahteraan Ekonomi
Oleh : Yohanes Ngamal
BEBERAPA hari yang lalu kita melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak meliputi 545 daerah, terdiri dari 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Asas penting Pilkada adalah Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil, (Luber Jurdil). Artinya, rakyat memilih pemimpin daerah (gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati dan wali kota-wakil wali kota) secara langsung, berdasarkan keputusan bebas atau tanpa tekanan atau iming-iming misalnya uang (politik uang), proses penghitungan dan rekapan hasil pemilu dilakukan secara jujur, tanpa rekayasa untuk memenangkan paslon tertentu, dan adil, artinya semua pemilih dan paslon diperlakukan secara adil tanpa diskriminasi.
Pilkada Serentak 2024 dan Demokrasi Pancasila
Pada hakekatnya Pilkada Serentak 2024 adalah wujud dari demokrasi Pancasila yaitu demokrasi konstitusional yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila yaitu nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Keadilan Sosial.
Oleh karena itu demokrasi Pancasila memuat prinsip-prinsip seperti menjunjung tinggi perlindungan atas hak asasi manusia, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, menekankan kerja sama dan gotong royong, mengutamakan kedaulatan rakyat dan musyarawah untuk mufakat, serta menjunjung solidaritas dan keadilan sosial.
Lebih dari itu demokrasi Pancasila menekankan otonomi daerah demi mewujudkan tujuan dan cita-cita nasional yaitu menciptakan masyarakat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan mewujudkan cita-cita nasional, idealnya, Pilkada Serentak 2024 diharapkan menghasilkan figur-figur pemimpin daerah (provinsi, kabupaten dan kota) yang memiliki kompetensi dan kapabilitas.
Artinya para pemimpin daerah terpilih melalui Pilkada 2024, idealnya adalah figur-figur yang mampu membuat kebijakan pembangunan daerah yang strategis dan menyusun program-prongam pembangunan yang specific, seasurable achievable, relevant dan time-bound (SMART) berdasarkan potensi sumber daya yang dimiliki.
Program-program tersebut mesti menyasar ke bidang-bidang prioritas yang mendorong percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah, dan penguatan nilai-nilai kebangsaan dan keberlanjutan lingkungan.
Demokrasi dan kesejahteraan ekonomi
Fakta historis menunjukkan selama demokrasi ada, selalu muncul skeptis tentang demokrasi.
Gagasan demokrasi yang dicetuskan filsus Yunani kuno Cleisthenes (570-508 sebM) ternyata kemudian dipersoalkan oleh Plato (427 – 347 SM).
Plato menyatakan demokrasi berisiko mengantarkan para diktator, tiran, dan demagog (pemimpin populer) ke tampuk kekuasaan.
Plato juga mengklaim bahwa demokrasi berpotensi menghasilkan pemimpin tanpa keterampilan atau moral yang tepat.
Menurut dia, melalui demokrasi, masyarakat tak mungkin bisa membawa pemimpin yang paling siap (berkompeten) untuk memerintah kota.
Di era kontemporer sekarang, tak sedikit kritikus yang skeptis atas demokrasi. Mereka berpendapat bahwa demokrasi tidak berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Mereka bahkan mengklaim bahwa rezim otoriter lebih berpeluang mempercepat pertumbuhan ekonomi daripada pemerintahan demokratis.
Dalam diskusi “Demokrasi dan Ekonomi” di ruang Diorama UIN Jakarta, Kamis, 23 Februari 2012 lalu, pengamat ekonomi Dr Umar Juoro mengatakan bahwa sistem politik demokrasi tidak menjamin pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa.
Sebab, banyak negara penganut otoritarianisme justru lebih mampu meraih pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan negara demokrasi. Contohnya, Singapura, Tiongkok, dan Arab saudi yang nondemokratis mampu meraih kemajuan pesat dalam bidang ekonomi.
Namun, skeptis atas demokrasi itu dimentahkan oleh empat ahli ekonomi dan politik, AS yaitu Acemoglu (profesor Ekonomi Massachusetts Institute of Technology (MIT)), Suresh Naidu (profesor ekonomi di Universitas Columbia); Pascual Restrepo (asisten profesor ekonomi di Universitas Boston); dan James Robinson ( ilmuwan politik dan ekonomi di Universitas Chicago).
Melalui laporan studi berjudul “Democracy Does Cause Growth” yang diterbitkan pada Maret 2019 di Journal of Political Economy, MIT, mereka menyimpulkan bahwa demokrasi secara signifikan mendorong kemajuan ekonomi.
Kesimpulan itu diambil setelah mereka meneliti 184 negara dalam kurun waktu 50 tahun, dari 1960 hingga 2010. Selama kurun waktu tersebut, terdapat 122 negara yang mengalami demokratisasi, serta 71 kasus di mana negara-negara beralih dari demokrasi ke jenis pemerintahan nondemokratis.
Mereka melihat bahwa negara-negara yang beralih ke pemerintahan demokratis mengalami peningkatan PDB sebesar 20 persen selama periode 25 tahun, dibandingkan dengan apa yang akan terjadi jika mereka tetap menjadi negara otoriter.
Secara keseluruhan, mereka mencatat, negara-negara demokrasi cenderung meningkatkan pajak dan menggunakan investasi berbasis luas, terutama di sektor kesehatan dan modal manusia, hal yang kurang ditekankan di negara-negara otoriter.
Mereka juga menemukan bahwa negara-negara yang telah mengalami demokrasi dalam 60 tahun terakhir umumnya melakukannya bukan pada saat-saat acak, tetapi pada saat-saat kesulitan ekonomi.
Contoh, regim nondemokratis Soeharto di Indonesia runtuh saat krisis moneter tahun 1997-1998. Itu berarti Indonesia memulai demokrasi sambil keluar dari tekanan resisi.
Memang, selama beberapa tahun setelahnya, PDB Indonesia relatif masih rendah, sehingga menimbulkan skeptis bahwa demokrasi tidak berpengaruh positif bagi kemajuan ekonomi. Namun, berikutnya ekonomi Indonesia meraih pertumbuhan antara 5-6 persen.
Hal yang sama berlaku dalam konteks sejarah yang lebih besar. Para peneliti itu menemukan bahwa ekonomi dalam pemerintahan demokrasi memang mengalami kemajuan secara konsisten.
Dalam waktu 5-6 tahun pertama, negara-negara demokrasi tampak tidak bertumbuh. Akan tetapi dalam jangka waktu 10 hingga 15 tahun, mereka menjadi sedikit lebih kaya, dan kemudian pada akhir 25 tahun, mereka menjadi sekitar 20 persen lebih kaya dari negara-negara otoritarianisme.
Apakah Pilkada 2024 bersifat Luber Jurdil?
Setelah Pilkada Serentak 2024 berlalu, pertanyaan yang muncul, ‘apakah pelaksanaanya telah berlangsung sesuai asasnya yang Luber Jurdil?’
Pertanyaaan ini tentu saja tidak mudah dijawab. Jawaban yang pasti barangkali didapat melalui riset lapangan dengan metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, secara sekilas ada kesan bahwa Pilkada 2024 belum benar-benar Luber Jurdil. Betapa tidak, selama masa kampanye masih sering muncul berita tentang ulah sejumlah oknum partai pengusung dan tim sukses paslon tertentu yang melakukan penggiringan melalui berbagai cara, agar warga pemilih memilih paslon yang mereka jagokan.
Selama masa persiapan dan masa kampanye Pilkada, media dan medsos mengungkapkan bahwa di sejumlah terjadi aksi kekerasan fisik antara massa pendukung dari paslon yang berbeda.
Seperti diketahui, setelah jadwal pencoblosan ditutup, sejak pukul 15.00 WIB berbagai lembaga survei melakukan proses quic count hasil Pilkada.
Biasanya quick count memaparkan data yang tak jauh berbeda dari hasil penghitungan manual. Makanya, tak sedikit paslon yang menerima hasil quick count dengan lapang dada.
Namun, ada sejumlah paslon bersama massa pendukungnya, belum bersedia menerima ketika melihat hasil quick count jauh berbeda dari ekspetasi mereka.
Sementara itu, para pengamat politik memberikan catatan kritis tentang Pilkada 2024, seperti; Pertama, terdapat indikasi pelanggaran terhadap asas Luber Jurdil di sejumlah daerah. Misalnya, ada inidikasi bahwa untuk meraih kemenangan, paslon petahana maupun pemerintah di sejumlah daerah mengerahkan ASN dan memanfaatkan infrastruktur negara, dan money politik.
Kedua, rendahnya partisipasi masyarakat, terindikasi terjadi polarisasi politik, yang akan menghambat tata kelola pemerintah yang efektif.
Apakah Pilkada 2024 berpengaruh positifi bagi pertumbuhan ekonomi?
Berolak dari gambaran di atas, sebetulnya kita memiliki tantangan untuk memprediksi dampak Pilkada 2024 bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan juga nasional.
Namun, melihat berbagai visi, misi, dan program-program yang di paparkan paslon selama masa kampanye, kita masih memiliki harapan bahwa para pemimpin yang dihasilkan Pilkada 2024 adalah figur-figur yang berkehendak baik untuk memajukan daerahnya masing-masing.
Kita pun berharap, lembaga legislatif dan lembaga yudikatif dan elemen civil society seperti pers ikut membantu eksutif di daerah mengupayakan pembangunan demi memajukan ekonomi daerah.
Harapan ini setidaknya diperkuat oleh hasil studi Irsan Hardi dkk (2023) tentang pengaruh 25 indikator IDI terhadap terhadap pertumbuhan ekonomi.
Setelah mengklasifikasikan 25 indikator IDI ke dalam enam kategori berbeda: isu kebebasan dan hak-hak sipil; isu diskriminasi; isu politik dan elektoral; isu sosial dan budaya; isu hukum dan keadilan; dan isu partisipasi masyarakat, Irsan Hard dkk menemukan bahwa lima dari enam kategori memiliki peran penting dan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Studi tersebut merekomendasikan agar pemimpin daerah harus menerapkan pendekatan multifaset, yang mencakup penguatan perlindungan hak-hak sipil, pemberantasan diskriminasi, serta reformasi birokrasi.
Jika para pemimpin daerah menerapkan pendekatan ini dengan transparansi dan inklusivitas, maka mereka bisa membuka jalan lebih lebar investasi dan partisipasi masyarat untuk memajukan ekonomi secara berkelanjutan. ***