Memang baik menjadi orang penting, akan tetapi yang lebih penting adalah menjadi orang baik “. Kalimat inilah yang selalu tersimpan di lubuk hati Stefanus Haryanto, dan menjadi pendorong sekaligus pengingat dalam setiap langkahnya. Untaian kata-kata tersebut bisa dibilang sederhana, namun begitu dalam maknanya.
Bagi Stefanus karirnya kini merupakan bagian dari usaha untuk membantu masyarakat pencari keadilan. Pandangan sinis masyarakat terhadap dunia hukum, ternyata menjadi keprihatinan tersendiri bagi pengagum Yap Thiam Hien ini. Apalagi, cap ke profesi advokat, di mana hanya membela yang membayar, merupakan ganjalan terbesar baginya untuk membuktikan bahwa tak semua seperti itu.
Oleh karena itu, Stefanus pun berhasrat mulai mengubah pandangan tersebut dengan memberikan ketauladanan pada semua pihak, terutama masyarakat pencari keadilan. Ya, dirinya sendirilah yang bakal memberikan contoh bagaimana menjadi seorang advokat yang baik. Baginya, untuk menuju ke sana bukan hanya ilmu hukum yang harus mumpuni, akan tetapi integritas moral pun merupakan modal dasar utama.
Apalagi seandainya ingin berkiprah di dunia internasional, semua itu mutlak di di milikinya. Setidaknya, hal tersebut tercermin dari kepercayaan klien asing terhadap kantor hukumanya, AKHH Lawyers – Adnan Kelana Haryanto dan Hermanto. Soalnya, hampir 70 % (tujuh puluh persen) klien kantor hukum yang beralamat di Chaze Plaza lantai 18 ini, tujuh puluh persenya adalah perusahaan asing. ’’Untuk menjaga kepercayaan ini, kami berusaha dengan sebaik mungkin, misalnya dengan meluangkan waktu agar hubungan kami dengan klien tetap baik. Hal inilah yang membuat kita tetap eksis di bisnis Law firm.’’ungkap suami dari Susanna Chandra ini.
Selain relationship management yang di terapkan di kantor hukumnya, prinsip keterbukaan, tranparansi, maupun akuntabilitas yang merupakan hal mutlak yang wajib di miliki setiap elemen perusahaan. Sudah banyak contoh di bisnis ini, manakala ketiga prinsip tersebut tak di hiraukan gara-gara persoalan uang, perpecahan law firm pun tak terelakkan.
Sementara itu, untuk memperluas pasar Stefanus punya kiat tersendiri. selain memberi ketauladanan dan menjaga hubungan baik dengan klien, dia pun berusaha membangun jaringan melalui kliennya tersebut. Artinya, setelah klien tersebut puas terhadap layanan jasa hukumnya, dia pun akan menjadi “market’’ yang baik bagi law firm-nya. ’’Klien kami juga memberikan referensi ke teman-temanya untuk menggunakan jasa hukum kami. Bahkan, 99 persen klien saya, hasil marketing dari klien saya sendiri. Dan itu juga merupakan strategis efektif dan memacu kami untuk memberikan pelayanan terbaik kepada klien,’’ tukas Stefanus.
Rindu Kampus Dunia praktisi hukum menurut Stefanus Haryanto merupakan wahana untuk mengejawantahkan ilmu hukum yang selama ini di dapatnya. Memang saat pertama kali menginjakkan kaki di ranah ini, ayah dari Ursula Felicia ini buat terkaget-kaget. Apalagi ketika beracara di pengadilan, bekal iman dan moral yang kuat sangat di perlukan di sana.
Mantan pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung ini resmi menemukan profesi advokat sejak tahun 1999. Karena terpuruknya kondisi perekonomian Indonesia kala itu, menjadikan Stefanus berfikir untuk berhijrah profesi. ’’Pada saat krisis tahun 1998, harga susu melambung tinggi hingga Rp 80 ribu per kaleng. Sementara saya punya bayi yang saya pikir tidak boleh kekurangan gizi. Hal itu saat berat kalau hanya bergantung pada gaji dosen, pada Januari 1999, saya ke Jakarta dan kerja di law firm,’’ kenang Stefanus.
Saat itu, Stefanus mengiyakan ajakan mantan mahasiswanya yang kemudian menjadi partnernya di AKHH Lawyers, Adnan Kelana. bagi penyuka gado-gado ini, peralihan antara akademisi ke praktisi merupakan saat-saat terberat dalam perjalanan hidupnya. ’’Saya seperti kehilangan dignity. Waktu saya menjadi dosen, orang banyak yang respect kepada saya. Begitu jadi lawyer, hal itu berkurang. penyebabnya mungkin pandangan masyarakat bahwa pengacara itu maju tak gentar membela yang membayar. dianggapnya saya sudah tidak punya idealisme lagi,’’ tutur Stefanus sambil menghela nafas.
Berkaca dari perjalanan karirnya tersebut, Stefanus pun memendam keriduaan terhadap dunia kampus. Guna mengasah dan mengobati kerinduannya ini, di sela-sela aktivitasnya, penyuka olahraga golf ini menyempatkan diri untuk berbagi ilmu di almamaternya.[HMD]